Friday, January 8, 2016

"Hal Termahal"

Oleh: Mukhlis Ahsya

Rade melebar-lebarkan kupingnya. Ia ingin mendengar lebih banyak tentang hal besar yang terjadi menjelang subuh tadi. Dari teman-teman kos, anak-anak organisasi, bahkan teman-teman di kelasnya pun membincangkan hal yang sama. Sebenarnya Rade memiliki kesempatan emas untuk menatap langsung peristiwa langit di gerbang fajar itu. Sayangnya, saat ia melangkahkan kaki ke masjid, tak ada sedikitpun hasrat untuk melayangkan mata ke langit.
“Aku melihat kereta Nyi Roro Kidul melintas di langit Ganjar Agung,” terang Yugo. Matanya berkedip-kedip mengamini setiap lafadz dari lidahnya. Yugo sebenarnya pembual kelas wahid di kelas Rade, tapi untuk kali ini lelaki penyuka tupai itu berusaha untuk mempercayainya. Setidaknya sudah lebih dari sepuluh orang membicarakan hal yang sama, tentang kereta Nyi Roro Kidul yang terbang tanpa awak.
“Aku juga melihatnya,” sambut Fiktaj Sinlouz tidak mau kalah. “Bahkan aku sempat melihat Nyi Roro Kidul ada di dalam kereta,” lanjutnya dengan yakin.
“Benarkah? Tapi itu kereta tidak berawak, kan?” kejar Yugo.
“Ya, tidak ada supirnya. Tapi ada Nyi Roro Kidul di dalamnya.”
Rade mendekat, merapati sumber perbincangan. Tidak ingin secuilpun informasi dia lewatkan. Ini mupakan peristiwa terlangka yang pernah tersangkut di telinganya. Dan pasti ada sesuatu di balik semua itu.
“Sayangnya, aku tidak setuju kalau kereta itu terbang di Ganjar Agung. Jelas-jelas benda itu terbang di atas rumahku, di 15 Polos.” Fiktaj mengacungkan telunjuknya. Kumisnya di ujung bibir berirama turun-naik.
“Jadi, kamu kira aku berbohong?” sergah Yugo.
“Ya, bisa jadi. Biasanya kan memang seperti itu. Coba kamu ingat-ingat, kapan terakhir kali kamu bicara jujur?”
Situasi memanas. Pembicaraan yang seharusnya menarik berubah jadi hambar. Bagi Rade, informasi lah yang terpenting. Saat obrolan berubah menjadi ajang debat, ia yakin tidak akan mendapatkan apa yang ia mau. Perlahan wartawan kampus itu pun menyingkir.
***
Taman Kota Metro. 16:35.
Rade tergopoh-gopoh menghampiri Pandu, penjual obat yang sedang menjadi nara sumbernya. Pedagang keturunan Tionghoa itu berteriak-teriak nyaring di tengah kerumunan pengunjung taman yang melihat obat-obatan yang ia tawarkan.
“Semalam ada kereta Ratu Kidul melintasi kota ini. Pertanda buruk sedang mengintai kita.” Pandu berteriak lantang. Sebisa mungkin menarik perhatian para calon costumernya.
“Pertanda buruk apa, Ko?” tanya seorang ibu muda. Pandu terkekeh-kekeh. Merasa jebakan kalimatnya sudah membuat orang-orang tertarik.
“Pertanda bahwa perselingkuhan akan merajalela di kota kita ini.”
“Hah? Pasti situ bohong, kan! Biar obat anti selingkuhnya laku. Iya, kan?”
“Ya terserah saja kalau tidak percaya. Kan sudah terbukti juga kalau saat ini perselingkuhan itu terus menigkat jumlahnya.”
Obat anti selingkuh. Ya, obat ini yang sedang diburu informasinya oleh Rade. Sudah seminggu ini ia meneliti akan kebenaran khasiat ramuan anti selingkuh. Benarkah bisa membuat seseorang berubah menjadi sangat setia, tanpa sedikitpun ada hasrat untuk selingkuh?
“Sudah kubilang dari kemarin, jangan tanyakan ke saya. Tanya saja langsung ke pembuat obatnya!” Tegas Pandu saat Rade menanyakan cara kerja dari obat anti selingkuh. Pandu sudah mulai mengemasi dagangannya.
“Seharusnya Anda tahu, Pak Cina! Anda kan penjualnya.” Desak Rade. Pandu mengangkat tangan sebagai isyarat bahwa ia tidak mau melanjutkan percakapan.
“Oke, setidaknya kasih tahu saya siapa pembuat obat ini!”
“Namanya Yudha, Profesor Yudha.”
“Alamatnya?”
Pandu menghela nafas panjang sebagai ekspresi bahwa ia sedang mempertahankan kesabarannya. “Di Banjarrejo. Tepatnya cari sendiri!”
“Baik. Tapi awas kalau sampai Anda membohongi saya!”
“Kamu mengancam saya?”
“Tidak.” Rade sedikit panik. Menyadari kesalahan dari kalimat yang ia ucapkan.
“Terus?”
“Saya hanya ingin mengingatkan Anda, bahwa bohong itu dosa! Juga melanggar undang-undang.”
“Memang ada undang-undang tentang kebohongan?”
“Ada. Dan hukumannya adalah lidah Anda akan dibuat sop, namanya sop lidah.” Rade beranjak meninggalkan Pandu yang tampak terbengong-bengong. Samar-samar Rade mendengar suara Pandu dari arah belakang.
“Hei, dari pertigaan 38, belok kanan! Terus saja sampai ketemu masjid. Masuklah ke gang seberang masjid.”
Pria berbaju koko itu terus berjalan seolah tak perduli. Tapi dalam hati, ada rasa yang menggelitiknya. Tiba-tiba ingatannya melayang menyambar Yugo. “Kalau ada undang-undang semacam itu, kira-kira Yugo butuh berapa lidah untuk hidup dalam satu bulan?” batinnya.
Bersambung ...

4 comments: