Friday, January 8, 2016

"Petaka"

Oleh: Mukhlis Ahsya

Cahaya mentari perlahan menyapu kota. Geraknya yang begitu gesit dengan cepat membuat terang lampu menjadi redup. Tidak terlihat lagi pesona kelip lampu kota yang gemerlap itu. Lebih ada yang benderang rupanya. Semilir angin membawa kicau merdu burung prenjak menabrak-nabrak rimbunnya daun mangga. Perlahan menyelinap manja lewat celah kecil di jendela. Bekas hujan semalam menyisakan butiran berkilau di ujung-ujung daun bunga di pekarangan. Menyebarkan mega kecil di geliat pagi.
Ini kota. Walau kota kecil, tapi tetap saja namanya kota. Beribu-ribu fenomena ada di sini. Tekanan cuaca berjalan beriring dengan tekanan hidup. Semakin meninggi, semakin banyak yang terkapar. Manusia memang suka yang aneh-aneh, jika tidak ada masalah mereka mencoba-coba menyulutnya. Saat masalah melahapnya, mereka membunuh dirinya sendiri. Ada juga yang membunuh orang lain, atau mengajak orang lain agar ikut gosong oleh masalahnya.
Joni menyulut rokok kreteknya. Dipandanginya halaman rumah yang terlihat masih basah. Sesekali diseruputnya kopi panas di sela-sela asap rokoknya. Masih jelas diingatannya pada prosesi evakuasi mayat wanita yang membusuk di ledeng seminggu yang lalu. Wanita malang itu dihabisi dengan sadis oleh suaminya sendiri. Lelaki yang dulu begitu memujanya. Berikrar setia, sehidup semati. Sanggup untuk mencukupi kebutuhan jasmani dan rohaninya. Namun, kemudian dengan dingginnya mencabik-cabik tubuh wanita itu dengan sebilah pisau dapur. Dengan alasan yang terlalu menjijikkan, alasan yang mungkin akan membuat orang lain begitu geram dengan si suami. Tapi, memang itu alasannya, karena si isteri mengetahui perselingkuhannya dengan wanita lain. Hal itu langsung membuat sang suami panik, gelap hati, jalan pintas secepat kilat menyambar otaknya, menyemaikan benih-benih kriminal yang tampak solutif, dan dengan sadisnya menghabisi si isteri yang merupakan guru SD itu. “Pria yang tolol,” desis Joni. Pria pembunuh itu benar-benar telah membakar hidupnya hingga hangus.
Sekilas Joni teringat dengan wejangan neneknya. “Semakin orang kehilangan alat kendali untuk dirinya, maka akan mudah gelap hati dan akalnya. Hilang rasa syukurnya, selau merasa tidak puas dengan apa yang dimiliki. Kemarau jiwanya. Mudah tersulut amarahnya. Kalau manusia semakin tidak peduli dengan nilai-nilai yang agung, nilai-nilai yang beratus-ratus tahun dipegang teguh oleh nenek moyangnya, maka mereka akan menuai petaka besar yang sangat menakutkan.” Joni menggaruk kepalanya, mengusap wajah yang terasa tebal. Nilai adalah suatu keindahan, sesuatu yang dianggap baik dan dapat memberi kebaikan, yang mewarnai hati dengan cahaya. Saat nilai itu lepas, gelap sudah hati seseorang. Nilai yang agung, nilai yang menyelaraskan hati dan akal. Yang membuat seseorang berpikir sebelum bertindak, yang membuat seseorang menggunakan nuraninya untuk mengalahkan tinta pekat yang disemburkan gurita setan. Saat nilai agung itu diabaikan, habis sudah jiwa manusiawi. Hanya nafsu jahat yang tertinggal di tahta. Dan petaka, petaka yang sangat ditakutkan oleh moyang kita benar-benar terjadi.
Diingatnya kembali wejangan sang nenek. “Dulu, wanita dan pria dewasa yang belum menikah dilarang terlalu berdekatan, takut kesetrum setan. Apalagi pegangan tangan, wah, tabu itu. Melanggar nilai susila dan kesopanan. Itu sudah menjadi aturan tidak tertulis yang sarat nilai-nilai agung. Kalau dilanggar, petaka.” Joni menghembuskan asap rokoknya kuat-kuat. Lagi-lagi petaka. Ia jadi teringat berita beberapa hari yang lalu, berita tentang tragedi pembunuhan terhadap seorang siswi oleh mantan kekasihnya sendiri di Pulau Payung. “Apa kasus seperti itu adalah bentuk petaka yang Nenek maksud?” tanya Joni dalam hati. Benar juga. Pergaulan remaja saat ini terlalu bebas. Terlalu mengacuhkan nilai-nilai luhur yang sudah ratusan tahun dipegang. Menghilangkan kontrol diri yang memuliakannya. Sekolah umum dan sekolah agama sebagai sentral pendidikan intelektual dan moral seperti kehilangan perannya. Tidak berkutik untuk menjaga generasi-generasi muda dari distorsi moral yang tidak disadarinya. Orang tua, orang yang paling bertanggungjawab atas penyimpangan perilaku anaknya, terkesan acuh tak acuh. Merasa bahwa pencukupan kebutuhan akan materi anaknya telah membuatnya lepas dari tangungjawab moralnya.
Sejenak Joni merasa tergugah hatinya. Ada sebuah teriakan nurani yang menyuruhnya untuk berbuat banyak untuk memperbaiki semua penyimpangan itu. Tapi, ia terpaksa diingatkan pada peristiwa beberapa tahun yang lalu, saat keponakannya sendiri dinikahkan secara paksa karena berzina dengan teman prianya. Memalukan. Ingatan itu seakan mencoreng wajahnya sendiri. Joni kembali menyeruput kopinya yang mulai dingin diterpa angin. Mentari di luar mulai meninggi. Butir-butir air di ujung daun mulai menyusut. Cicit-cicit burung pun terdengar semakin menjauh.
“Ya, aku harus memperbaiki keluargaku sendiri terlebih dahulu!” serunya mantap dalam hati. Joni menyadari akan sikapnya yang kurang peduli dengan keluarga. Bagaimana mungkin dia akan menyelesaikan masalah penyimpangan secara umum jika penyimpangan dalam keluarganya saja tidak pernah ia sentuh? Yang kecil saja teracuhkan, bagaimana yang besar bisa diselesaikan? Joni tersenyum. Ia seperti menemukan alasan untuk lebih bersemangat dalam hidup. Banyak persoalan yang sebenarnya harus ia selesaikan, tidak melulu hanya urusan makan dan kantor.
Tangan Joni gesit mengusek-usekkan rokoknya di asbak. Matanya melirik isi gelas yang ternyata hanya tinggal jelaga saja. Hari minggu itu ia akan lebih banyak melakukan perenungan di rumah dari pada mencari hiburan di luar. Dikeluarkannya kembali sebatang rokok kretek dari bungkusnya. Dipijit-pijitnya gulungan tembakau itu. Sekejap ia sudah menggenggam korek api dan siap menyulut ujung rokoknya. Tapi Joni malah terpaku. Ia ingat sesuatu di masa kecilnya. “Bukankah dulu Ibu sangat marah saat memergokiku merokok?” bisiknya dalam hati. “Bahkan, Ayah sampai-sampai tega memukuliku agar aku kapok dan tidak merokok lagi. Dan di sekolah, aku selalu menjadi bulan-bulanan guru saat ketahuan merokok,” lanjutnya. Pria berambut ikal itu merenung. Mencoba menggunakan teori sebab-akibat untuk memecahkan suatu misteri. “Artinya, merokok itu adalah perbuatan yang buruk, suatu penyimpangan perilaku. Dan…. Dan…….” Joni tergugu. Kepalanya tiba-tiba pening. Pandangannya menjadi kabur. Dilihatnya batang rokok di ujung jarinya perlahan memanjang. Dan terus memanjang. Dia sangat akrab dengan bentuk perubahan itu. Batang rokoknya berubah menjadi ular. Gesit ia menghempaskan batang rokok yang tiba-tiba berubah bersisik dan beringas itu. “Astaga, ini petaka!” pekiknya.

No comments:

Post a Comment