Sunday, January 10, 2016

“Hal Termahal 2”

Oleh: Mukhlis Ahsya

12.45, Banjarrejo.
Desing kendaraan berpelantingan di telinga Rade. Pemuda bertas gendong itu berboncengan di atas Jupiter Z bersama Agil. Agil yang merupakan pengusaha pemasok dana untuk penelitian Rade ingin ikut melakukan observasi di rumah Prof. Yudha. Ia selalu terbayang-bayang keuntungan yang akan dia raup jika dapat memperoleh resep ramuan anti selingkuh. Bayangkan, jika obat itu benar-benar mujarab, berapa banyak ibu-ibu rumah tangga yang akan mengordernya. Belum lagi para pegiat cinta jalanan yang mulai meragukan kesetian pasangan abal-abalnya, pasti akan memburu obat ini. Bisa jadi berbisnis obat ini akan jauh menguntungkan dibanding berjualan narkotika. Sebagai pebisnis yang peka terhadap pasar, Agil tampak ingin menerkam peluang dengan memanfaatkan jiwa petualang Rade.
Sebuah rumah bercat hijau berdiri kokoh di tepi area persawahan. Agil memarkir kendaraan birunya tepat di sisi kiri pelataran rumah yang terasa asri itu. Buru-buru Rade melompat dan segera merapati pintu rumah.
“Assalamu’alaikum … !”
“Assalamu’alaikum …!”
Tidak ada jawaban. Namun, terlihat ada yang memutar gagang pintu dari dalam.
“Ohi, siapa ya?” Seorang perempuan dengan rambut sebahu keluar. Matanya menyelidik penuh curiga. Di tangannya sebuah kipas kertas dengan hiasan gambar geisha tidak henti-hentinya berayun.
“Saya Rade, Tante. Mau ada per … .”
“Ohi, Tante? Jangan panggil saya ‘Tante’!”
“Oh, sorry! Saya harus panggil bagaimana?”
“Panggil saya ‘Bibi’. Ya, panggil ‘Bibi’ saja. Tepatnya Bibi Meida.”
“Oke. Sepertinya lebih santun,” serobot Agil sambil mengulurkan tangan.
“Saya Agil Pramusaji.”
“Oh, maaf! Kita bukan mahram, jadi tidak boleh berjabat tangan.” Meida menelungkupkan telapak tangannya di depan dada.
“Bibi sangat menjaga diri, tapi kenapa tidak berjilbab?” tanya Rade sehalus mungkin agar tidak menyinggung.
“Karena saya bukan Muslimah. Tapi saya suka dengan ajaran agama kalian, apalagi tentang larangan bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram, it’s amazing!” terangnya dengan gembira. “Menjaga kesucian cinta untuk pasangan maupun calon pasangan itu juga harus diaplikasikan dengan menjaga diri dari mereka yang tidak halal untuk kita sentuh,” lanjut wanita ekspresif itu. Rade dan Agil terbengong-bengong dibuatnya. Diam-diam mereka begitu bangga dengan ajaran agamanya.
“Ohi, kalian ada perlu apa?”
“Kami ingin bertemu Prof. Yudha,” jawab Rade.
“Oke-oke. Kalian tidak terlihat seperti penjahat, silakan masuk!”
Rade dan Agil diantar Meida menuju ruang kerja Prof. Yudha. Rade sedikit heran dengan situasi rumah yang tampak biasa, tidak seperti rumah-ramah peneliti pada umumnya yang banyak pernak-pernik yang berbau ilmiah.
“Saya Yudha Kegawa. Ada apa mencari saya?”
“Ah, saya tampak tidak asing melihat Anda. Wajah Anda mirip salah satu personil Boy’s Band tersohor, One Direction,” ucap Agil politis. Prof. Yudha tersipu, lalu mengangguk-angguk salah tingkah.
“Saya Rade, mahasiswa yang sedang meneliti obat anti selingkuh buatan Anda. Dan ini donatur saya, Bapak Agil Pramusaji,” terang Rade dengan nada khasnya. Prof. Yudha kembali manggut-manggut.
“Apa kami bisa langsung mewawancarai Anda, Prof?” kejar Agil dengan tidak sabaran.
Prof. Yudah tersenyum. Matanya sesekali melirik dua tamunya secara bergantian.
“Kalau nyawa kalian hanya satu, lebih baik urungkan niat kalian. Sudah ada yang menunggu kalian di luar sana.” Prof Yudha menatap tajam pada Rade.
Sesaat berselang, Rade menyadari sesuatu. Telinganya menangkap suara mencurigakan, seperti ada ledakan-leakan kecil di luar sana. Ia mundur selangkah menyejajari Agil. Lalu bergegas keluar sambil menyambar tangan donaturnya itu.
“Sial! Apa-apaan ini? Siapa yang melakukannya?” pekik Agil penuh emosi. Rade takjub menyaksikan pemandangan di depan matanya. Ia tidak menyangka dengan hal yang baru saja terjadi.
“Hari ini sepeda motor kalian yang dibakar, mungkin besok giliran kalian berdua,” tutur Meida dengan tatapan kosong.
“Ini bukan masalah yang bisa diatasi oleh mahasiswa sepertimu, Rade. Pulanglah! Persoalannya tidak seremeh yang kamu kira,” timpal Prof. Yudha.
“Kalian pasti tahu pelakunya, saya akan tuntut kejahatan ini!” gertak Agil dengan suara melangit.
“Sama saja kalian menyerahkan kepala di kandang buaya lapar. Kalian sedang berhadapan dengan kejahatan yang tersistem dengan baik.”
Agil dengan emosi berjalan cepat ke arah Prof. Yudha. Ditariknya kuat-kuat kerah baju pria setengah baya itu. Tangan besarnya mengepal kuat-kuat, siap untuk dihantamkan ke wajah Prof. Yudha. Secepat kilat tangan itu melayang dengan kencang ...


Bersambung ...

No comments:

Post a Comment