Friday, January 8, 2016

“Hidup”

Oleh: Mukhlis Ahsya

Banyak orang yang bingung mengartikan hidup. Adikku, Nabilla, selalu meprotes saat aku katakan,”Hidup itu kebahagiaan.”
“Kalau hidup itu kebahagiaan, mana mungkin Tuhan menciptakan rasa pedih?” bantahnya.
Benar apa yang dikatakan Pak Nuha,”Hidup itu sesuai dengan keyakinan kita. Dan keyakinan kita berasal dari apa yang kita rasakan.” Aku yakin marah itu ada, karena aku pernah merasa marah. Aku percaya benci itu ada, karena aku pernah membenci. Lalu, apakah Tuhan itu ada, sedangkan aku tidak pernah merasakan keberadaan Tuhan di dunia ini? Dua tahun yang lalu, pamanku dan juga keluarganya meregang nyawa dengan sangat mengenaskan. Rumah mereka disatroni perampok dan mereka dibunuh tanpa ampun. Ke mana Tuhan? Kenapa Tuhan tidak menolong mereka? Bukankah paman adalah seorang imam masjid yang begitu taat kepada-Nya. Uji, anak sulung paman juga adalah seorang hafidz sejak usia 17 tahun. Tapi kenapa Tuhan membiarkan dia ikut dibantai?
Aku heran, kenapa di dunia ini seringkali terjadi pertumpahan darah yang mengatasnamakan agama. Semua mengklaim bahwa mereka bertarung untuk Tuhan. Dan semua mengharapkan surga setelah gugur dalam pertempuran itu. Sebenarnya apa mau Tuhan? Kalau Tuhan benar-benar ada, kenapa Dia tidak menciptakan perdamaian di dunia ini? Menciptakan kehidupan yang tentram dan aman dalam kerukunan umat. Hidup dalam kasih-sayang yang kekal. Bukankah itu lebih sesuai dengan sifat Tuhan? Ya Rahim.
Dulu, saat masih kecil, aku begitu rajin pergi ke mushola. Bersama anak-anak tetangga aku belajar mengeja huruf hijaiyah. Aku begitu semangat mendengar kisah Nabi Isa bertarung dengan Dajjal. Lalu ketakutan saat membayangkan betapa tajamnya jembatan Siratal Mustakim. Juga terpana dengan perjalanan Nabi Ibrahim mencari Tuhan. Aku benar-benar menikmati semua itu.
Kini, aku terasing. Dalam jeruji besi aku hanya tertunduk lesu. Membayangkan tentang kehidupan seperti apa lagi yang akan aku hadapi. Aku di sini karena sebuah kebenaran. Setidak-tidaknya, aku merasa tindakanku benar. Walau aku seorang pembunuh, tapi aku membunuh demi harga diri adikku. Kakak mana yang terima jika adiknya dicemari? Nabilla adalah anak yang baik, cerdas, dan juga rajin ibadahnya. Tapi, seseorang yang sangat kuhormati dengan biadab memperkosanya. Di mana Tuhan? Bukankah Nabilla seorang muslimah yang begitu menjaga auratnya? Jilbabnya lebar dan pakaiannya begitu tertutup, sama sekali tidak menampakkan lekuk tubuh. Bukankah Tuhan menyuruh muslimah menjulurkan jilbab agar mereka mudah dikenali dan tidak diganggu? Tetapi kenapa Nabilla malah diperlakukan dengan amoral? Di mana sebenarnya Tuhan?
“Makan dulu, Dik!” Pak Nafas menegurku. Pak Nafas adalah salah seorang pejabat Negara yang harus mendekam dalam bui karena fitnah. Sebuah makar dahsyat akhirnya berhasil memperosokkannya di kurungan para pecundang. Padahal dia adalah seorang ustadz, yang begitu santun dan derma terhadap sesama. Pak Nafas begitu peduli denganku, ia banyak bercerita tentang dirinya, dan juga kehidupan keluarganya yang begitu harmonis. Mungkin jika tidak ada dia aku sudah nekad bunuh diri. Apa saja akan aku gunakan sebagai media untuk mengakhiri hidup. Tapi Pak Nafas dengan kalem menohok kesadaranku,”Apa kamu yakin kamu tidak akan hidup lagi setelah mati? Bukankah kamu sudah merasakan sendiri bahwa kamu dulu tidak hidup, kemudian dihidupkan? Nah, kalau ternyata kamu nanti hidup lagi bagaimana? Dan ternyata kamu hidup di dunia yang lebih mengerikan dari pada bumi ini?” Otot-otot tubuhku terasa nyeri rasanya. Aku tiba-tiba begitu takut dengan kehidupan.
Pak Nafas yang begitu telaten merawatku. Mungkin orang-orang yang lain mulai menganggapku tidak waras, tapi Pak Nafas begitu yakin bahwa aku hanya terpukul. Cepat atau lambat akan sembuh rasa sakitnya. Ia memperlakukanku seperti keluarganya sendiri, walau aku sama sekali tidak mau berbicara padanya, pada siapapun. Aku hanya merasa takut akan hidup ini. Aku ngeri sepanjang hari. Aku merasa bahwa aku hanyalah makanan empuk kehidupan, yang jika lengah akan terlahap dan terkunyah-kunyah.
***
Aku melihat adikku menangis. Gadis yang baru mengenyam bangku kuliah itu begitu ketakutan, badannya gemetar.
“Aku diperkosa, Kak,” lirihnya.
“Hah! Biadab! Siapa yang melakukannya?” Emosiku meluap menembus ubun-ubun. Nabilla hanya menangis sesenggukan.
“Katakan, Billa! Katakan siapa yang melakukannya!” Kugoncang-goncang pundak adikku satu-satunya itu. Aku benar-benar tidak terima atas perlakuan yang diterima adikku.
Aku melompat setelah mendengar ucapan Billa. Dengan gesit kusambar pisau di dapur. Dengan cepat aku melejit ke rumah Pak Ma’ruf.
“Dasar dosen bajingan!” makiku setelah kuterobos masuk ke dalam rumah dosen yang juga pernah mengajarku itu. Kudapati pria berjenggot itu sedang makan malam bersama isteri dan dua orang anaknya. Tanpa banyak bicara langsung kuhujamkan pisau dapur ke dadanya berkali-kali. Hingga pria yang tampak terkejut dengan kedatanganku itu sempoyongan bersimbah darah, dan akhirnya kelojotan di lantai diiringi jerit tangis isteri dan kedua anaknya yang masih kecil. Ruang makan sekejap menjadi sangat mencekam. Tatapan memelas memancar pada mata isteri dosen amoral itu. Jantungku berdetak tidak beraturan. Aku baru sadar apa yang aku lakukan, aku telah menghilangkan nyawa dosen yang dulu pernah menjadi dosen favoritku. Tapi apa salahku? Dia hanya seorang pemerkosa. Nafasku sesak. Aku berlari ke luar rumah dan terus berlari. Berlari hingga aku megap-megap tidak kuat lagi. Syarafku terasa terpreteli satu per satu. Hingga kurasa detik selanjutnya pria-pria berseragam menyeretku. “Tidakkkkk………..!” teriakku. Aku begitu ketakutan. Kurasakan dunia begitu mengerikan. Para tuyul berlarian menertawakanku. “Tidakkkkk…………..!”
“Tenang, Dik! Tenang! Bangunlah! Kamu mimpi buruk rupanya.” Aku menatap sekeliling. Tembok dengan warna berantakan dan pagar besi yang kulihat. Pak Nafas dengan wajah teduhnya menatapku dengan panik. Hingga kurasa wajah teduh itu perlahan buram. Dan akhirnya hilang seketika.
***
“Di mana Tuhan? Di mana? Kenapa Dia membiarkan adikku dijamah pria sialan itu? Kenapa paman dan keluarganya tidak ditolong saat para penjahat membunuhnya? Kenapa Tuhan membiarkanku dipenjara seperti ini? Kenapa, Pak? Kenapa?” Aku mengamuk saat Pak Nafas menemuiku. Pria berwajah lembut itu sudah keluar dari tahanan. Aku tidak tahu sudah berapa tahun aku terkurung dalam ruang penderitaan itu. Bergelut dengan tembok kotor yang terus-terusan tersenyum kecut kepadaku. Apalagi setelah Pak Nafas sudah tidak ada lagi, aku semakin ketakutan. Aku rindu wajah teduhnya yang sedikit bisa mengurangi rasa takutku.
Dua orang petugas memegang tanganku kuat-kuat. Mereka khawatir aku akan memporak-porandakan ruang besuk itu. Tapi Pak Nafas memberi isyarat agar aku dilepaskan. Aku terduduk di hadapan pria yang pernah satu jeruji denganku. Air mataku meleleh. Mungkin aku memang benar-benar sudah gila. Tapi aku sadar aku tidak gila. Aku hanya merasa takut, sangat takut.
Dari lobang jendela kulihat orang-orang yang sangat aku kenal. Mereka adalah ayah, bunda, dan adikku Nabilla. Nabilla terlihat sangat dewasa. Dia sangat cantik dan anggun. Deraian air mata terus-terusan membanjir di wajah mereka. Mereka menatapku. Ya, menatapku di balik derasnya air mata.
“Besok kamu bebas, Dik. Bersiap-siaplah! Kita jalani hidup yang lebih baik.” Aku tertegun. Aku akan bebas? Akhirnya aku akan keluar dari tempat mengerikan ini. Tapi, bukankah kehidupan sama saja? Di mana pun tempatnya hidup hanyalah gambaran apa yang pernah aku rasakan, menakutkan.
“Apa kamu masih percaya Tuhan, Dik?” Pak Nafas menatapku serius. Aku menggeleng.
“Sama, aku juga tidak percaya Tuhan.” Aku tertegun. Mana mungkin Pak Nafas tidak percaya Tuhan? Selama di penjara hari-harinya hanya untuk ibadah, dzikir hampir-hampir tak pernah berhenti dari mulutnya. Sekarang dia mengatakan bahwa dia juga tidak percaya Tuhan? Apa-apaan ini?
“Tapi percaya atau tidak percaya akan Tuhan, tetap saja Tuhan itu ada. Sehingga mau tidak mau aku akhirnya percaya pada Tuhan. Kamu tidak percaya Tuhan karena kamu tidak merasakan keberadaannya, kan? Bagimu bukti yang ada di semesta dan juga firman-Nya hanya bualan semata, dan Tuhan tidak pernah menunjukkan keberadaannya. Itu masuk akal. Tapi ingat, Tuhan bukan makhluk, Tuhan bukan ciptaan. Tuhan bukan amarah, yang walaupun tidak berbentuk tapi bisa kamu rasakan. Tuhan lebih dari segalanya. Gunakan hatimu untuk merasakannya. Luangkan waktu, cari tempat yang tenang untuk bertafakur, seperti yang dilakukan Nabi Muhammad di gua Hira. Gunakan pengetahuanmu untuk membantu. Lalu rasakan betapa Tuhan itu ada.” Aku mengikuti arah pembicaraan Pak Nafas. Benarkah apa yang dikatakannya? Sebenarnya akalku membenarkan keberadaan Tuhan, tapi hatiku tidak.
“Bisa saja Tuhan memberikan tempat yang lebih baik untuk pamanmu dan keluarganya. Tuhan tahu yang terbaik untuk makhluknya. Toh, ada atau tidak adanya kejadian itu, pamanmu dan juga keluarganya juga akan mati, benar kan? Juga adikmu, jika ia bersabar atas musibah yang menimpanya, tentu Tuhan akan meninggikan derajatnya di atas orang-orang pada umumnya. Semakin taat seeorang pada Tuhannya, maka ujian keimanannya akan semakin berat. Adikmu beruntung mendapat ujian yang berat, itu artinya ia memiliki kesempatan untuk lebih dekat pada Tuhan jika dia mengerti maksud Tuhan.” Pak Nafas memberi pengertian padaku. Aku merunduk, merasakan kebimbangan yang teramat sangat. Perlahan kutatap wajah pria setengah abad itu.
“Lalu bagaimana denganku?” lirihku. Pak Nafas tersenyum.
“Jika akhirnya nanti kamu dapat merasakan keberadaan Tuhan, maka keimananmu tidak akan ada duanya.” Tatapan Pak Nafas begitu tajam. Ia menukik dalam jantungku. Dan aku menyadari sesuatu, aku rasa ada Tuhan di sisiku. Ya, Tuhan yang telah menggerakkan hati Pak Nafas untuk menguatkan hatiku. Tuhan yang telah membuat pria mantan narapidana itu masih saja peduli denganku.
***
Udara terasa begitu sejuk walau matahari bertengger dengan gagah di langit Timur. Daun beringin melayang meninggalkan ranting diterpa angin. Burung gereja mencicit berkejar-kejaran, tampak bangga dengan sayapnya. Langit, oh langit. Betapa aku sudah lupa cara mendakinya. Padahal dulu aku ada di sana, menggantungkan setiap impianku pada bintang-bintang yang bersinar terang. Berharap suatu saat akan kembali lagi untuk memetiknya.
Dua ekor cicak terlihat saling serang di cabang pohon yang besar. Mengingatkanku pada protesku akan peperangan. Tapi kini aku sadar, perang dan segala macam kerusuhan di dunia ini, itu karena manusia sendiri. Ya, manusia diberi kekuasaan untuk berbuat, hak untuk memilih. Baik atau jahat seseorang itu karena dia memilihnya. Karena banyak manusia yang memilih menjadi jahat, maka harus ada orang-orang yang memilih menjadi baik. Dan akhirnya dua kekuatan besar itu dipertemukan di medan laga, untuk menunjukkan siapa yang lebih kuat. Yang baik bertarung untuk kebenaran, untuk Tuhan, dan yang jahat bertarung untuk nafsu, untuk syetan.
Kuhirup udara sekuat-kuatnya, dan kuhembuskan perlahan. Kurasakan betapa nikmatnya karunia ini. Hidup adalah keyakinan, sama seperti yang dikatan Pak Nuha dulu. Dan aku yakin aku akan hidup dengan lebih baik setelah ini. Karena aku pernah merasakan kebaikan hidup saat masih kecil dulu. Dengan membuang semua keyakinan buruk, dan menggantinya dengan keyakinan yang indah, maka aku akan menjadi sosok yang baru. Ayah, bunda, dan Pak Nafas adalah orang-orang yang telah membuktikannya, bahwa mereka mampu menjalani hidup sampai saat ini, sampai menginjak usia yang tidak muda lagi. Nabilla, dia sudah menikah sekarang. Dengan Fahri, temanku sendiri. Pria jenius dan baik perilakunya. Kulihat seorang gadis kecil menggenggam erat-erat tangan Nabilla. Sangat cantik, seperti Nabilla saat kecil. Benar kata Pak Nafas, Tuhan punya rencana di balik semua kejadian. Hanya tinggal bagaimana kita menyikapinya.
“Dik, ini anak Bapak.” Pak Nafas menunjukkan seorang wanita berkulit bersih, berjilbab dengan anggun, sangat indah. Dia tersenyum ramah dan menganggukkan kepala. Aku mencoba ikut tersenyum.
“Maukah kamu menikahinya?” tanya Pak Nafas mengejutkanku.
Aku tertegun. Gugup. Jantungku mau copot rasanya.

No comments:

Post a Comment