Oleh: Mukhlis Ahsya
Entah mengapa aku begitu bersemangat ingin menyaksikan puteriku berlomba. Walau sebenarnya aku sadar, mungkin perlombaannya sudah selesai. Karena seperti yang disampaikan puteriku, perlombaannya dimulai pukul 08.00, dan sekarang sudah pukul 13.45. Tapi setidaknya aku sudah berusaha untuk memenuhi permintaan puteri tercintaku. Kasihan dia, pasti hanya dia sendiri yang orang tuanya belum hadir di sekolahan.
Kucari sela untuk memarkirkan motorku. Setelah selesai, aku langsung menuju tempat perlombaan. Ramai sekali. Banyak sekali manusia di tempat ini. Seperti sedang menonton konser boys band saja. Tapi nyaliku mulai menciut saat kusadari akan sesuatu. Ternyata yang ada di tempat ini kebanyakan perempuan, atau mungkin semuanya perempuan. Karena tak kulihat wajah laki-laki kecuali wajah dua orang satpam dan lima oarang guru laki-laki. Berarti tamu undangan yang bergender laki-laki hanya aku sendiri. Bagaimana ini? Ah, masa bodoh. Aku datang ke sini untuk puteriku, bukan untuk mendata jenis kelamin para tamu.
Aku terus maju ke depan. Kucari keberadaan putriku di antara kerumunan anak-anak kecil berjilbab. Sungguh pemandangan yang menyejukkan mata. Kumpulan bidadari-bidadari cilik yang menjaga kehormatannya. Andai semua muslimah berhijab seperti bocah-bocah kecil itu, tentu negeri ini akan terlihat lebih asri. Tak kutemukan puteriku di sela-sela mereka. “Di mana keberadaan bidadari kecilku?” bisikku dalam hati.
“Kepada Ibu Halimah Cahyani, dipersilahkan untuk menyerahkan hadiah kepada juara ketiga lomba Tilawatil Qu’an!” Terdengar suara wanita dari atas panggung. Kurasa wanita itu adalah pembawa acara Tilawatil Qur’an ini. Kulihat seorang ibu berjilbab besar naik ke atas panggung. Dengan penuh keakraban ia langsung mencium gadis kecil di atas panggung dan kemudian memeluknya. Ia terlihat begitu bangga dengan gadis kecil itu. Lalu seseorang menyodorkan sebuah piala besar kepada Ibu itu. Ibu itu lalu mengambilnya dan menyerahkan kepada si gadis kecil secara formal dan diikuti beberapa kali jepretan kamera. Ibu yang berjilbab besar itupun kemudian turun dari panggung. Kulihat sekeliling, para hadirin tampak takjub dengan pemandangan itu.
“Dan selanjutnya, kepada Ibu Fatmawati, dipesilahkan untuk menyerahkan hadiah kepada juara kedua!” Seru pembawa acara. Mataku tertuju ke panggung lagi. Pemandangan yang sangat mirip dengan pemandangan pertama. Tapi ada yang sedikit berbeda, ternyata putriku juga ada di atas panggung. Sedang apa dia? Juarakah? Tiba-tiba hatiku brgemuruh. Ada harapan besar yang menggebu-gebu dalam hati.
“Baik, selanjutnya, kepada Bapak Haris Fuadi, selaku kepala sekolah, dipersilahkan untuk menyerahkan hadiah kepada juara pertama!” Terdengar kembali suara pembawa acara. Kali ini terdengar lebih lantang dan bersemangat. Jantungku berdetak tak beraturan. Ada rasa harap dan cemas yang beradu. Rasanya jantungku mau meloncat saja saat kulihat bidadari kecilku maju beberapa langkah. Sepertinya ia memang juaranya.
Kali ini bukan jantungku yang mau meloncat, tapi air mataku yang secara perlahan meleleh membasahi pipi. Benar saja, puteri cantikku yang menjadi juara. Bapak kepala sekolah menyalaminya, dan memberikan piala besar dan mewah untuknya. “Subhanallah! Ini kejutan dari-Mu, ya Allah. Dia anakku.” Gemuruh hatiku.
“Kepada sang juara pertama, Qamraa Al-Birr, dipersilahkan untuk menyampaikan beberapa patah kata. Silahkan, sayang!” ucap si pembawa acara sambil mencium puteriku. Wanita berkulit putih itu lalu memberikan mikrofon kepada anakku, Qamraa Al-Birr. Aku terpaku memandangnya. Dia gadis kecil yang sangat cerdas. Dia adalah titipan Allah yang sangat berharga untukku.
“Eeem... eeeem, eee...” Anakku terlihat gugup. “Ayo, bicaralah, Nak! Ayah bersamamu,” gumamku dalam hati. Ia menatap ke arahku. Matanya berkaca-kaca. Lalu ia menundukkan kepalanya. Kurasa memang dia seperti aku. Merasa gugup jika bicara di hadapan orang banyak. Tapi bicaralah, Nak! Sedikit saja. Suasana menjadi sangat menegangkan. Tak ada satupun hadirin yang bersuara. Semua menunggu, menunggu puteri tujuh tahunku itu bicara.
“Lihatlah, pria berkemeja biru itu adalah ayahku!” tutur Qamraa tiba-tiba sambil menunjuk ke arahku. Dengan secepat kilat, ratusan pasang mata langsung tertuju padaku. Aku jadi salah tingkah dibuatnya. Tapi sungguh, ada rasa bangga saat puteriku berucap seperti itu.
“Saat kulihat teman-temanku hadir di sini ditemani Bunda mereka, aku bertanya, di mana Bundaku? Aku sangat rindu pada Bunda. Kata Ayah, insya Allah Bunda ada di tempat yang baik, karena Bunda adalah pejuang.” Dupppp! Seperti meledak rasanya jantungku. Air mataku berhamburan dengan derasnya. Badanku menggigil dan darahku seoah berombak-ombak dalam pembuluh. Aku bukan takjub dengan kalimat puteri kecilku, tapi aku takjub dengan kata ‘bunda’ yang barusan ia sebutkan. “Sayang, Bundamu lebih dari sekedar pejuang.”
“Saya tak akan menggugurkan kandunganku, Dok. Itu sama saja membunuh anakku yang tak berdosa,” tutur isteriku, Tiana Hanifah.
“Tapi, Bu, Anda terkena kanker rahim yang akut. Rahim Anda tidak bisa untuk ditempati janin. Itu sangat berbahaya,” terang sang dokter yang beberapa kali telah memeriksa kandungan isteriku.
“Saya pasrahkan semuanya pada Allah, Dok. Permisi, assalamualaikum!” ucap isteriku dengan penuh keyakinan, dia tidak mau mendengarkan penjelasan lebih lanjut dari bu dokter. Ia lalu menyambar tanganku dan mengajakku keluar dari ruangan.
Pikiranku agak kalut menghadapi masalah rawan ini. Aku tak dapat berbuat banyak kecuali pasrah pada takdir Allah. Tapi aku akan mencoba berdiskusi sedikit dengan isteriku. Setidaknya aku akan mendapat keyakinan yang kuat setelahnya.
“Sayang, ku harap kamu jangan tersinggung. Aku sangat menyayangimu, dan jujur, aku sangat menghawatirkanmu,” tuturku saat kudapati isteriku siuman dari pingsannya. Ia pingsan di dapur saat memasak, dan mengalami pendarahan.
“Apakah kamu tidak percaya dengan pertolongan Allah, Mas?” Pertanyaan yang sangat memojokkanku. Aku tak mampu menahan air mataku. Kugenggam erat tangannya.
“Mas, anak dalam rahimku adalah titipan dari Allah, dan kita harus menjaganya. Aku ridho mempertaruhkan nyawaku demi anak kita. Janganlah kita ragu pada Allah! Allah telah memberikan yang terbaik untuk kita.” Aku kagum pada keteguhanmu, sayang. Aku merasa sangat miskin keimanan jika dibanding denganmu. Kau teguh bagai karang. Kau lembut bagai sutera. Kau tak pernah berprasangka buruk pada Alah. Kau mutiara yang mengindahkan hidupku, meninggikan martabatku.
Sembilan bulan terasa begitu lama. Namun isteriku begitu tegar menghadapinya. Beberapa kali ia harus dirawat di rumah sakit. Sering sekali ia harus berguling menahan kesakitan. Hampir-hampir, ia tak pernah tidur demi mempertahankan bayi dalam kandungannya. Beberapa kali dokter menyarankan untuk melakukan pengguguran karena kondisi rahim isteriku sangat tidak memungkinkan. Bukan hanya keselamatan isteriku yang dikhawatirkan, tapi juga keselamatan bayi yang dikandungnya. Para dokter yang sudah sangat ahli itu, takut jika perjuangan isteriku sia-sia. Tapi itulah isteriku, dia sangat yakin akan pertolongan Allah. Dia hanya percaya pada kekuatan Allah, bukan pada vonis dokter.
“Jika memang ini adalah cara Allah mencintaiku, aku ingin penderitaan yang lebih dari ini. Dan demi Allah, aku akan menjaga titipan Allah ini dengan ketulusan cintaku. Tak ada satu halpun yang sia-sia jika kita melakukannya karena Allah.” Subhanallah! Dia memang wanita pilihan. “Berjuanglah, sayang! Insya Allah aku akan selalu bersamamu.”
Suatu keajaiban terjadi saat usia kandungan isteriku menginjak sembilan bulan tiga hari. Jika saat-saat sebelumnya hari-harinya dipenuhi dengan derita dan sakit-sakitan, tapi sekarang ia tampak bugar dan sangat sehat. Aku sangat bahagia mendapati kondisi isteriku yang membaik.
“Perjuanganmu akan segera usai, sayang,” bisikku di telinganya sebelum ia dibawa masuk ke ruang bersalin. Aku berusaha untuk terlihat tegar. Dia tersenyum sangat manis. Tak pernah kulihat senyum semanis itu sebelumnya. Ia menggenggam erat tanganku. Dan berbisik lembut di telingaku. “Mas, aku sangat mencintaimu.”
Aku menunggu dengan sangat cemas. Aku terus berdoa agar Allah memberikan keselamatan pada isteri dan anakku. Semua keluarga yang ikut menunggu juga mengalami kepanikan sama sepertiku. Kami saling diam. Kami sibuk dengan doa masing-masing.
“Pak, silahkan masuk! Anak anda sudah lahir,” ucap seorang perawat kepadaku. “Allahuakbar!” Suara takbir langsung menggema dari mulut-mulut yang penuh kecemasan. Aku langsung masuk ke dalam ruangan dan diikuti anggota keluarga lainnya. Kulihat bayi mungil di dalam keranjang bayi. Lucu sekali. Ia sangat cantik seperti Ibunya. Aku angkat bayi mungil itu. Dan dengan ragu-ragu kukumandangkan adzan lirih di telinga kanannya, dan iqamat di telinga kirinya. Lalu kuserahkan bayi mungil itu pada neneknya yang sudah tidak sabar untuk menggendongnya.
Kulihat isteriku terbaring lesu. Kukecup keningnya. Ia menggenggam erat tanganku. Ia berusaha untuk bangun dan memeluk tubuhku. Kusambut tubuhnya dengan pelukan erat. “Betapa kuat dirimu, sayang,” batinku.
“Aku mencintaimu, Mas. Aku mencintaimu,” ucap isteriku.
Lidahku kelu mendengar ucapannya. Aku sangat beruntung dicintai oleh wanita sepertinya. Lidahku tak mampu membalas ucapan cintanya. Hanya dalam hati,”Aku juga mencintaimu, Dik!”
Kudengar sayup suara isteriku. Tidak jelas, tapi kalimat itu tidak asing bagiku. Astagfirlah! Dia mengucap dua kalimat syahadat. Kulepaskan pelukanku. Dan inilah akhir. Ia syahid dengan senyum seindah cahaya bulan. Meneduhkan.
“Ayah, ayo pulang! Dari tadi bengong aja.” Aku kaget bukan main. Puteriku sudah berada di hadapanku. Kutengok kanan-kiri, orang-orang sudah mulai sepi. Kutatap wajah bidadari kecilku. Tak sanggup kubendung air mataku. Kupeluk puteri titisan bidadari ini. Terngiang sepotong kalimat dari isteriku,“Tak ada satu halpun yang sia-sia jika kita melakukannya karena Allah.” Ya, tak sia-sia kau lahirkan permata hati ini. Ia sangat cerdas dan santun,soleha, ceria, cantik, dan senyumnya seperti senyummu, layaknya cahaya bulan, meneduhkan.
No comments:
Post a Comment