Oleh: Mukhlis Ahsya
Aku seperti debu yang terus diombang-ambingkan angin peradaban. Tidak bisa berpijak lama di satu titik lembar krhidupan. Aku terbang, terus saja terbang. Hingga aku tidak tahu, ke mana sebenarnya aku akan hinggap. Sejak kecil, orang tuaku selalu berpindah-pindah tempat. Ada saja hal yang mengharuskan kami sekeluarga untuk pindah. Dulu, keluargaku hampir hidup dengan nyaman di wilayah Way Kanan, Lampung, tapi itu hanya hampir. Karena sebuah aksi kebejatan yang sangat luar biasa, kami harus beranjak dari Bumi Petani itu. Ayah berinisiatif memboyong aku dan ibu ke daerah Mesuji, daerah yang kala itu begitu bergejolak karena konflik lahan.
Kalau kuingat-ingat, rasa-sanya ingin meledak dada ini. Bagaimana tidak, ayahku diperas habis-habisan oleh sekelompok preman. Ayah dipaksa untuk menandatangani surat perjanjian palsu yang mereka buat. Dulu, ayah terlihat tidak gentar walau clurit dan parang melingkari tubuhnya. Ayah tampak tidak peduli. Tapi, pakdeku yang saat itu sedang berkunjung ke rumah, bersikap lain. Ia khawatir jika terjadi sesuatu yang fatal pada ayahku. Akhirnya pakde membujuk ayah untuk menandatangi surat perjanjian palsu itu. Ayah pun menandatangainya. Dan petaka itu benar-benar terjadi. Ayah selalu menjadi bulan-bulanan kelompok preman bejat itu, menagih isi surat perjanjian yang mengharuskan ayah membayar uang dua puluh juta pada mereka. Jangan tanya soal polisi. Ayah tidak terlalu paham dengan yang namanya polisi. Sebenarnya pernah mengadu pada seorang polisi yang merupakan tetangga nenek, tapi apa lacur? Polisi itu tidak juga berusaha mengulurkan bantuannya. Alasannya hanya satu, karena sudah adanya surat perjanjian. Tapi kenapa tidak dicoba untuk mencarikan solusi? Memberi arahan agar melaporkan ke kantor polisi, mungkin. Kan, jelas-jelas itu tindak pemerasan, kriminalitas, premanisme.
Saat pindah ke Mesuji, hidup bagaikan di alam rimba. Aku yang masih berumur enam tahun waktu itu harus terpaksa meninggalkan bangku sekolah, dan hidup di tengah orang-orang asing yang terlihat begitu beringas. Walau tidak lama di Mesuji, tapi itu bagaikan mimpi buruk yang berkepanjangan bagiku. Lalu ayah memboyong kami ke Kalianda. Dan tidak lama kemudian pindah ke Tulang Bawang. Dan akhirnya pindah lagi ke Kalianda. Benar-benar seperti buih di tengah lautan, terombang-ambing oleh gelombang kehidupan yang begitu pahit, seolah tidak ada lagi yang sanggup menolong. Dan kegetiran yang paling terasa adalah saat aku melihat anak-anak berseragam yang dengan ceria menjejakkan kaki untuk berburu ilmu. “Tuhan, aku ngin sekolah!” rintihku sepanjang hari.
Tapi ternyata aku salah, pertolongan Allah itu dekat. Allah mengirimkan manusia berhati malaikat. Ia oomku sendiri. Om Ifan.
“Dika mau sekolah?” Sebuah pertanyaan yang benar-benar membuatku takjub. Aku memang masih kecil waktu itu, baru berumur delapan tahun. Tapi aku benar-benar mencintai pendidikan. Aku begitu merindukannya seperti sedang merindukan sebuah kedamaian. “Sekolah? Masih bisakah aku sekolah?” batinku.
“Kalau Dika mau sekolah, ikut Oom saja! Biar Om yang sekolahin kamu,” lanjut Om Ifan dengan lembut. Om Ifan adalah anak terakhir dalam keluarga ayahku. Ia masih muda. Baru setengah tahun diwisuda dari kampusnya. Usianya baru 22 tahun. Seorang pejuang sejati. Menempuh masa kuliah dengan biaya sendiri. Dan lulus dengan nilai yang mengagumkan.
Aku menoleh ke arah ayah yang duduk tidak jauh dariku. Matanya nanar, ia mengangguk pelan. Ibu tiba-tiba mendekapku dari belakang. Seolah ia begitu kasihan padaku, anak delapan tahun yang begitu malang. Anak yang begitu rindu dengan seragam sekolahnya, tapi tidak kunjung juga mendapatkan haknya. Bukan ayah yang salah, juga bukan ibu. Tapi keadaan yang memang tidak memungkinkan. Kini semua tampak jelas di depan mata, seragam itu, buku, pensil, tas, sepatu, semua seolah berputar di atas kepala. “Oh, sekolah. Aku sekolah,” teriakku dalam hati. Air mataku pun perlahan mengalir. Kutatap paman penuh harap. Aku mengangguk pelan.
***
Aku masuk sekolah pada usia delapan tahun. Harus mengulang di kelas satu yang memang dulu belum genap kujalani. Namun, bukan hal yang mudah berada di lingkungan sekolah bagi anak rimba sepertiku. Sulit, sangat sulit. Apalagi di lingkungan kota seperti ini, aku seperti pemulung yang sedang tersesat di dalam mall dan tidak tahu jalan keluar. Di dalam kelas lebih miris lagi, aku tidak bisa apa-apa. Aku bingung. Aku lupa cara memegang pensil. Aku benar-benar anak rimba. Sendiri, gugup, terasa seperti seonggok kotoran sapi yang sama sekali tidak dilirik. Kerinduanku pada bangku sekolah sekejap sirna. Seolah yang kurindukan selama ini sudah tidak mengenaliku lagi.
Aku berjalan gontai menyusuri pinggiran jalan. Kontrakan paman letaknya tidak jauh dari SD yang tadi terasa seperti neraka. Aku sudah hafal rutenya. Jadi tidak perlu dijemput. Kupandangi sekeliling. Tampak toko-toko berjajar di sepanjang jalan. Didominasi oleh warung makan dan tempat fotokopian. Di kota kecil yang berjuluk Kota Pendidikan ini, atribut-atribut pendidikan lah yang menjadi objek utama dalam bisnis.
Tidak terasa aku sudah sampai di kontrakan Om Ifan. Hanya butuh waktu sepuluh menit.
“Sudah pulang, Dik?” sapa pria berambut tebal itu sumringah saat aku baru memasuki rumah. Aku tersenyum. Merasa canggung. Ada rasa bersalah karena hari pertama masuk sekolah yang sangat buruk.
“Sana, makan dulu!” suruhnya. Aku berjalan menuju kamar, berganti pakaian, dan menuju tempat makan. Lapar sekali rasanya setelah setengah hari seperti gelandangan di sekolahan.
“Kamu kenapa? Lha, kok, seperti ayam sakit?”
“Tidak, Om. Aku… Aku...” Aku gugup, memutuskan untuk tidak memberi penjelasan.
“Dika, dengerin, Om! Kalau kamu bisa melakukan suatu hal yang kamu anggap kecil dan biasa, maka jadikan kemampuan kamu itu sebagai modal untuk melakukan hal yang besar dan luar biasa!” jelas Om Ifan, seolah tahu bahwa aku sedang membutuhkan nasehat. Aku menatap Om Ifan tidak mengerti. “Misalnya, ketika kamu bangun tidur dan ternyata bisa menghirup oksigen, maka artinya kamu harus menggunakan oksigen itu untuk menjadikan hidupmu lebih baik. Saat kamu bangun tidur dan ternyata kamu masih bisa menggerakkan tanganmu, maka gunakan tanganmu sebaik-sebaiknya untuk berkarya, melakukan hal yang besar,” lanjut pria berjenggot rapi itu. Aku memang baru berusia delapan tahun, tapi aku termasuk tipe anak yang mudah mencerna suatu kalimat. Dan ucapan Om Ifan benar-benar telak menghujamku. “Aku masih bisa menggerakkan tangan, berarti seharusnya aku dapat melakukan banyak hal dengan tangan ini. Aku masih punya banyak kesempatan untuk belajar,” ucapku dalam hati.
***
Sekarang usiaku sudah dua puluh tahun. Berstatus sebagai mahasisiwa di Jakarta. Suatu hal yang begitu luar biasa bagiku. Ini semua karena kemurahan Tuhan, doa orang tua, dan juga uluran tangan lembut Om Ifan. Pria berwajah tampan itu yang telah banyak memberi pengarahan dalam hidupku. Mengajariku bermimpi, mengenalkanku pada kedahsyatan keyakinan, menggandengku dalam pengejaran mimpi, juga meyakinkanku bahwa aku adalah manusia, makhluk yang diciptakan Tuhan dengan keadaan yang sebaik-baiknya. Aku masih ingat saat aku kepergok merokok oleh Om Ifan. Ia marah besar. Matanya berkaca-kaca, menatapku dengan penuh kasih sayang, menatap dengan ketegasan, dan mengucapkan kalimat yang sampai sekarang sulit untuk kulupa. “Dika, Om tidak terlalu berharap bahwa suatu saat kamu menjadi orang yang hebat, tidak. Hanya satu harapan Om, kamu menjadi orang yang berakhlak mulia karena ilmumu, karena sekolah yang dulu kamu rindukan itu, karena Tuhanmu. Om harap kamu bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, lalu kamu memilih yang baik.” Aku menyesal, dan berjanji tidak akan merokok lagi.
Suasana bandara begitu riuh. Aku mengantar Om Ifan ke bandara setelah aku di pastikan menjadi mahasiswa di UI. Om Ifan sangat banyak membantu proses awalku masuk kuliah. Pria itu sekarang ada di hadapanku. Om Ifan. Walau sekarang dia sudah memiliki tiga anak, tapi dia tidak pernah lupa memperhatikanku. Dia orang yang adil dan tidak suka pilih-pilih. Tiba-tiba kurasakan tepukan di pundakku. Membuatku merasa begitu berharga.
“Dik, Om tidak bisa memberi banyak padamu. Om juga tidak meminta banyak. Inti dari pendidikan yang kamu jalani sampai saat ini adalah agar kamu bisa menjadi orang terbaik, orang yang memiliki akhlak mulia. Jadi, jika nanti kamu lulus kuliah dan kamu belum berakhlak mulia, bagi Om kamu belum lulus.” Om Ifan menatapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dia terlihat menghembuskan nafas berat. “Kamu ingat tempat ini! Suatu saat nanti Om akan sangat merindukan bandara bersejarah ini. Karena apa? Karena Om ingin, suatu saat nanti, di tempat ini, Om melihatmu telah membopong semua impianmu.” Aku tersenyum. Dengan penuh keyakinan, dan meyakini akan kekuatan keyakinan itu sendiri, aku menganggukkan kepala.
“Aku akan berusaha, Om! Semaksimal mungkin. Aku selalu merindukan ilmu. Dan memeluk ilmu adalah obat dari rindu itu. Ketika aku sudah memeluknya, maka aku yakin, aku bisa membopong impian-impianku.” Aku yakin akan impian, aku yakin aku bisa mewujudkannya, dan aku percaya bahwa ilmu akan banyak membantu. Ketika aku masih bisa melakukan hal kecil, maka akan aku jadikan hal kecil itu sebagai modal untuk meraih yang besar. Sekarang Om Ifan yang tersenyum. Ia menepuk pundakku kembali.
“Jangan jadikan hidup ini sebagai beban! Tapi jadikanlah beban sebagai ladang untuk memanen pahala dalam hidup ini!” Om Ifan tersenyum kembali. Ia berbalik arah dan berjalan menjauh. Semakin jauh. Meninggalkanku sendiri di tanah rantau ini.
“Om Ifan, walau Om berada di tempat yang jauh, tapi Om akan selalu ada di sini, di hati ini. Menemaniku membopong semua impian. Aku akan selau merindukanmu,” bisikku dalam hati, lirih.
No comments:
Post a Comment