Wednesday, November 8, 2017

Dia Berbeda

Dia berbeda. Setidaknya begitu menurutku. Tanpa diminta ia bertutur padaku dengan sebuah kalimat, yang santai dilontarkan padaku dengan nada tanya. “Mengapa kau tidak mati saja?”
Pertanyaannya memaksaku untuk memikirkannya. Mencoba mengemas kepingan hal untuk menemukan garis sambung pada pertanyaan yang meski sopan tapi menghujam itu. Aku mulai melihat matanya dalam pikiranku. Kurasa dapat dipastikan di mata itulah sebuah dunia yang berbeda ia bangun. Lain dari dunia orang-orang sewajarnya. Matanya selaras dengan apa yang pernah ia katakan padaku. “Manusia itu membangun dunianya masing-masing lewat matanya. Mereka menilai sesuatu semaunya, hanya sebatas informasi yang ia dapat.”
“Kenapa aku harus mati?” Sebuah tanya yang bodoh. Yang jelas saja membuatku semakin nampak kerdil di matanya. Ingin rasanya kutonjok sendiri diriku.
“Seseorang yang tidak mengerti untuk apa ia hidup, memang sebaiknya mati.”
Tegas ucapnya. Menghujam. Menyakitkan. Atas dasar apa perempuan macam dirinya menilai aku tidak mengerti untuk apa aku hidup?
Aku jelas tahu untuk apa aku hidup. Untuk ... untuk ... untuk apa? Hah?
Berhari lamanya aku berpikir tentang diriku. Aku tidak ubahnya orang-orang muda pada umumnya, ketakutan menghadapi kemandirian. Banyak berharap pada pemerintah membuat orang-orang semacamku menjadi kurang bertindak, terlalu sering melamun, dan akhirnya menjadi santapan penyakit kurang percaya diri. Tidak terpikirkan suatu sikap, kecuali menyalahkan orang lain, merutuki kesialan hidup, membenci diri sendiri. Lalu untuk apa aku hidup?
Dua puluh tahun lebih aku menjalani hidup, tapi pertanyaan sesederhana itu tidak juga dapat kujawab? Terlalu banyak waktu yang kubuang sia-sia dengan orang-orang yang salah, kurasa itu penyebab ketidakmengertianku akan hidup.
Aku kembali mendatangi perempuan itu. Sore ini ia seperti sore biasanya. Duduk sekenanya di emperan toko tidak jauh dari tempatku sering memesan kopi. Gamisnya masih sama, orange kumal dengan beberapa lubang menghias. Orang-orang mengenalnya sebagai perempuan muda yang gila, tetapi aku tidak. Dulu aku memberinya makan atas permintaan rekanku. Di saat itulah ia berkata dengan gaya seorang nenek-nenek yang sedang menasehati cucunya,”Apa yang dari tanganmu bukanlah milikmu, ia milik orang lain yang bukan pemiliknya, ia milik yang di setiap kepemilikan adalah miliknya.” Aku tercengang waktu itu. Dan hari-hari selanjutnya mulai sering mendatanginya hanya untuk mendengar kata-kata aneh. Kadang aku menimpalinya sambil mengajaknya berbicara, kadang memilih diam saja sampai berniat untuk pergi.
“Untuk apa kau hidup?”
Kuserang ia dengan pertanyaannya sendiri. Hari ini aku berniat ingin menghujatnya. Ingin membuktikan bahwa gembel sepertinya tidak berhak berkata lancang kepadaku. Ingin kujelaskan padanya bahwa selama ini aku datang padanya agar aku bersyukur karena nasibku tidak seburuk nasibnya, meski bukan begitu sebenarnya. Ingin kutegaskan bahwa ia sama sekali tidak jauh lebih baik dariku. Ya, begitu rencanaku untuk membalas kata lancangnya yang menyuruhku mati saja karena tidak tahu untuk apa hidup.
Lagi-lagi seperti biasa, ia seolah tidak mendengarku. Namun aku sudah hafal benar, nanti dia akan menjawabnya.
“Aku hidup untuk mati,” lirihnya. Tidak ada kalimat lain setelah itu meski kutunggu-tunggu. Lebih lama kutunggu, sabarku menguap. Sejenak aku ingin mengumpatnya habis-habisan seperti yang telah kurencanakan. Namun sekejap otakku terpaku pada satu kata, ‘mati’. Lidahku kelu. Tetiba seperti ada kekuatan yang menarik tubuhku untuk meninggalkannya pergi.
Gontai kubawa tubuh ini. Angin jalanan yang sedari tadi khidmat menjalankan tugasnya, kini seolah meranggas mengancamku, mengisyaratkan sebuah kematian. Aku semakin menapak jauh dari perempuan itu. Semakin cepat langkahku, akalku semakin menceracau.
Hidup untuk mati?
Semua memang akan mati.
Lalu apa yang kusiapkan untuk menghadapi kemungkinan terburuk setelah kematian?
Aku terkejut oleh suara-suara teriakan. Mataku terperangah. Sebuah bus telah meraung di depanku. Badan besarnya oleng. Jantungku melonjak. Kakiku beku. Braakk ...!

2 comments:

  1. Ya bener klis,sebuah tujuan yg terkadang kita lupa bahwa tujuan kita hidup untuk apa,malah terkadang kita lupa,terlena oleh dunia sehingga lupa akan tujuan sebenarnya.bahwa kita mmang hidup untuk mati.terima kasih klis.sungguh artikel yg bermanfaat.suksess selalu

    ReplyDelete
  2. Oke dek. Selamat atas wisudanya.....

    ReplyDelete