
Rukman sudah berjanji akan menemuinya di bawah pohon beringin belakang rumah. Sedikit aneh memang, seorang lelaki yang serumah dengannya meminta bertemu di tempat yang tidak seharusnya. Padahal mereka hanya tinggal berdua sebagai sepasang kekasih, kenapa tak bertemu di rumah saja? Kalau misal ada hal rahasia yang ingin diutarakan, tak ada juga yang akan mendengar.
Ia masih menunggu di bawah pohon beringin yang diperjanjikan Rukman. Setengah lima sore nanti. Kalimat terakhir Rukman pagi tadi sebelum berangkat kerja sejenak berkelebat di ingatannya. Ia mencoba memastikan bahwa ia sudah tegak di bawah beringin sejak pukul empat tadi, membawa serta kandungannya yang sudah menginjak bulan ketujuh. Namun, hingga langit mulai meredup dan warna gelap mulai merambah pandangan, lelaki yang teramat dicintainya itu belum juga muncul.
Di tengah gelisah, sebayang manusia terpontal-pontal berlari kearahnya. Ia menoleh, mengamati perempuan bertudung yang semakin dekat jaraknya. Setelah dekat, wajah ayu perempuan yang nampak tergesa-gesa itu mampu dikenalinya, ia Uzi, adik kandungnya sendiri.
“Mas Rukman mana, Mbak?”
“Tumben kamu tidak teriak-teriak datang ke sini?” Perempuan hamil itu balik bertanya. Dan memang pertanyaanlah yang bisa menghindarkannya dari pertanyaan adiknya yang ia tak tahu jawabannya.
“Takut orang-orang tahu aku ke sini. Mas Rukman mana?” Tampak ekspresi misterius dari wajah Uzi.
“Aku tidak mengerti apa maksudmu. “ Perempuan yang tengah menanti suminya itu sekejap diguyur gundah. Ia merasa pandangannya tak hanya mengeja remangnya sore, tapi gelap. Belum lagi perutnya yang mendadak mulas. Ia kesakitan dan sejurus kemudian ambruk di tanah tanpa sempat ditangkap oleh Uzi.
***
Namanya Ammara, biasanya dipanggil Am. Ia bersedia dipersunting Rukman sekitar delapan bulan yang lalu. Mereka menetap di rumah hasil jerih payah Rukman semasa lajang, dan menjalani hidup sederhana yang wajar dan bahagia. Am tipikal wanita yang dapat dikata penyabar, begitu pula dengan suaminya. Pertemuan mereka bukan sekedar saling melengkapi, tapi lebih pada saling menguatkan karakter. Penyabar bukan berarti Am tak pernah merajuk. Ia pernah semalaman tak mau diajak bicara karena cemburu pada suaminya yang suatu sore terlihat berbincang akrab dengan ibu-ibu muda tetangganya. Meski kemudian ia luluh oleh ucap maaf yang diramu mesra oleh Rukman.
“Berbincang tak dapat diindikasi miliki unsur-unsur perselingkuhan, kan?”
“Mungkin.”
“Lagi pula untuk apa menghadirkan banyak wanita, kalau denganmu saja aku sudah kerepotan.”
“Apa katamu, kerepotan?”
“Iya, repot rasanya meredam cinta yang terus meluap-luap, dan rindu yang tidak berkesudahan.” Rayu Rukman dengan lembut dan bersungguh-sungguh. Ammira pun tersipu, luluh seketika rasa kesalnya.
Hanya saja, sekitar tiga bulan yang lalu kebahagiaan mereka mulai terusik. Ikhwal pertama karena kedua orang tua Rukman mendadak dikabarkan meninggal. Kedua, kakak sulung Rukman mulai membicarakan harta warisan dengan cara yang kurang santun. Soal meninggalnya orang tua, tentu saja lelaki sederhana itu sangat terpukul, namun ia tidak mau berlebih-lebih dalam berduka. Cepat-cepat diingatnya sebuah kalimat yang tidak dapat disangkal oleh siapapun, ‘setiap yang bernyawa akan merasai mati’. Akan tetapi, soal warisan ia sedikit gusar.
Suatu petang, Marun berkunjung ke rumah Rukman. Dibawanya serta kedua adiknya, Narmi yang duduk di kelas 3 SMA dan Naina yang baru masuk SMP. Mereka memang empat bersaudara, Marun sendiri sebagai kakak tertua dalam bersaudara itu.
“Aku kan anak tertua, kebutuhanku paling banyak. Jadi, setengah untukku, setengahnya lagi untuk kalian bertiga.” Simpul Marun tanpa sungkan sedikitpun.
“Apa tidak lebih baik kita serahkan pembagiannya pada kyai saja, Mas?”
“Kyai bisanya hanya teori agama, tidak tahu keadaan lapangan.”
“Tapi pembagian warisan itu sudah diatur oleh Tuhan, Mas, porsi dan ketentuan-ketentuannya. Tuhan yang paling tahu apa yang terbaik untuk kita.”
“Terserah, Man! Aku kesini bukan untuk berdebat denganmu. Aku hanya meminta persetujuanmu saja atas pendapatku tadi. Jangan kau bawa-bawa Tuhan dalam urusan keluarga kita!” Marun melengos kesal. Rukman yang berpembawaan tenang, jadi sedikit gusar saat Tuhan tidak boleh dibawa-bawa dalam urusan keluarga. Namun, ia tidak berucap apa-apa.
“Hidupmu lebih mapan dariku, Man. Kau tidak perlu berkelit dengan usulanku tadi. Kecuali kalau kau sudah tidak menghargaiku lagi sebagai Mas-mu.” Marun beranjak dari duduknya. Bergegas meninggalkan rumah meski Rukman telah berusaha mencegahnya. Watak Marun yang keras dan mudah tersinggung memang sulit untuk mengakhiri sebuah dialog tanpa masalah. Narmi dan Naina hanya merunduk diam sejak pertama mereka datang, sedangkan Ammira mengikuti percakapan yang berakhir menegang itu dari dalam kamarnya.
Ammira sudah menganjurkan Rukman untuk mengikuti saja kemauan kakaknya. Bagi Am, harta tidaklah terlalu penting. Lagi pula penghasilan Rukman sudah dirasa mencukupi oleh Am. Namun, masalah utamanya bukan di situ.
“Aku hanya tidak ingin mendurhakai Tuhan dengan mengabaikan aturan-aturan yang telah dibuat-Nya.”
“Bagaimana jika kau temui Mas Marun, lalu bilang padanya bahwa pembagian harta waris harus dilakukan berdasarkan aturan agama. Namun, janjikan bahwa bagian Mas Rukman akan diserahkan semuanya kepada Mas Marun.”
“Bagus juga usulmu itu. Besok akan kutemui dia.”
Am mencoba menebak-nebak mengapa ia dikerubuti banyak orang di kamarnya. Hingga ia menyadari penuh saat-saat ia menanti Rukman dan berakhir pingsan. Uzi dengan kasih yang tulus menyodorkan segelas air putih padanya. Namun belum tuntas Am meminumnya, ia seketika terperanjat saat teringat suaminya, Rukman.
“Mas Rukman sudah pulang?”
Am menatap bingung saat tak ada satupun orang yang menjawab pertanyaannya. Padahal ada enam perempuan di dalam kamar, termasuk ibu kandungnya.
“Tolong panggilkan Mas Rukman, Zi!”
Uzi yang disuruh justru menoleh pada ibunya. Perempuan berwajah teduh itu pun mendekat pada anaknya yang tampak panik.
“Dua hari kamu pingsan, Am,” lirih ibunya. Am tersenyum kecut tidak percaya. Kepalanya menggeleng-geleng. Diusap ibunya wajah Am yang sayu karena terlalu lama tertidur.
“Mas-mu sudah tidak ada, Am.”
“Mas Rukman?” Otot wajah Am menegang, namun tatapannya semakin pucat. Dadanya seperti meledak dan berhamburan seluruh hatinya. Cintanya, ketulusannya, pengabdiannya, dan kesetiaannya pada Rukman sekejap menjadi lorong hitam yang memenuhi rongga pandangnya. Tidak ada yang tersisa dalam tatapan matanya kecuali detik-detik yang suram, masa depan yang tidak menarik lagi.
Ibu Am tetap tenang, ia menyadari akan susunan kalimat yang ia sampikan kurang tepat.
“Mas Marun maksud Ibu, bukan Rukman.”
***
Am telah pulih, kandungannya pun dalam keadaan yang baik seperti saat-saat sebelumnya. Dan ia, perempuan baik hati itu tidak mau sedikitpun membuang waktunya tanpa mencari Rukman, suaminya. Saat makan saja ia masih sempat berulang kali menghubungi ponsel suaminya yang memang tidak aktif sejak ia dinyatakan menghilang.
Marun telah tiada. Berdasarkan kabar yang didengar Am ia meninggal dengan keadaan yang cukup tragis. Di dada kanannya tertinggal dua bekas tusukan pisau, sedangkan punggungnya tertusuk satu. Polisi menduga pelaku pembunuhan terhadap Marun adalah Rukman. Dengan segala barang bukti dan saksi yang ada, sangkaan polisi sangatlah tepat. Oleh karenanya Rukman didaulat sebagai buronan.
Am sendiri tidak peduli apakah pelakunya Rukman atau bukan. Ia hanya ingin bertemu kembali dengan suaminya itu dan menanyakan segala hal yang ingin ia tahu. Terlalu banyak kejanggalan bagi Am. Menurutnya hal yang paling janggal adalah ketika semua hal sangat meyakinkan bahwa Rukman adalah pelaku pembunuhan. Rukman membunuh orang merupakan kenyataan yang sulit dirumuskan. Sedangkan jika memang benar Rukman melakukannya, atas dasar apa ia berbuat demikian padahal ia telah menyepakati usul dari Am.
***
Am menatap hidup dengan caranya sendiri. Ia memang melihat jalanan panjang yang lesu dan suram tanpa Rukman, namun ia tidak memandang di jalanan panjang itu. Ia menerobos jauh pada hal-hal yang tidak dapat dilihat kecuali oleh dirinya sendiri. Dan ia bisa melihat sudut lain di sana. Menemui Rukman di tengah taman dengan sekeliling dipenuhi warna bunga. Meski nyatanya hingga kandungannya menjelma menjadi sesosok gadis remaja Rukman tak pernah kembali. Empat belas tahun sudah perkara warisan, janji bertemu, dan tragedi pebunuhan itu tetap menjadi teka-teki yang belum jua terpecahkan.
No comments:
Post a Comment