Kehidupan adalah hal paling rumit yang pernah kutemui, namun juga merupakan hal paling sederhana yang pernah ada. Hidup ini terlihat sederhana saat tanpa malu-malu nasib baik bergantian mendatangiku, menghantarkanku pada kebahagiaan yang terancam basi. Tapi, saat kakiku tiba-tiba terperosok pada satu hole yang awalnya tak pernah kutakuti, semua menjadi lain. Hal sekecil apapun akan terasa sulit.
Hingga di satu titik kehidupan, saat tiba-tiba air dan api berdamai, angin selalu senandungkan puisi-puisi indah, kambing berhenti mengembik, dan di lorong dunia sana cinta menjadi cahaya, aku menemukannya. Menemukan sesosok hawa yang tepat di sudut senyumnya aku merasa dapat melihat sisi damai dari dunia ini. Dia bukan perempuan berjilbab besar seperti yang kukagumi selama ini, ia selalu membiarkan rambut hitamnya berjuntai begitu saja.
“Kenapa?”
“Aku belum siap.”
“Tapi, bukankah berjilbab itu kewajiban bagi seorang muslimah?”
“Aku tahu. Tapi hatiku belum memintanya. Mungkin ini bagian dari takdir.”
Selalu itu yang ia ucap setiap kali aku menanyainya.
Di luar itu, ia adalah air bening yang terlompat dari ketinggian yang menakjubkan. Ia indah dan memberi kesejukan. Jika ia angin, maka ia adalah angin yang berhembus pelan saat matahari tak muncul di siang hari. Jika ia prajurit, maka ia adalah prajurit yang bertarung dengan dada yang dipenuhi oleh cinta. Ia perempuan yang penuh kasih, tuturnya lembut, sangat menghormati laki-laki. Ia terlahir dengan membawa nama yang anggun, Puteri.
Ia adalah temanku, sosok yang baik, penulis puisi, penulis cerita, perempuan ekspresif yang benar-benar mencerahkan dunia yang sendu ini- setidaknya- duniaku. Ia sering mengisahkan tentang legenda Gadis Bening dari lembah Leubor. Gadis yang menolak untuk jatuh cinta pada lelaki manapun. Ia memilih sendiri, hingga kehidupan seolah membencinya.
“Semua ada alasannya. Seperti kesendirian yang dipilih oleh si Gadis Bening. Ia pasti punya alasan kuat kenapa memilih kesendirian sebagai jalan hidupnya.”
“Mungkin ia pernah disakiti lelaki,” tebakku. Dengan gerak pelan Puteri menghadapkan wajahnya ke arahku. Alisnya terangkat ke atas.
“Itu kisah konvensional, Kak. Puteri Bening lain.”
“Apa Gadis Bening punya agama?” tanyaku. Tiba-tiba aku merasa tolol sekali telah mengeluarkan pertanyaan seperti itu. Seperti biasa, Puteri hanya tersenyum.
“Kenapa kamu menyukai puisi?” Kucoba untuk membuat tema baru.
“Karena aku tidak punya alasan untuk tidak menyukainya. Puisi adalah sebuah penemuan yang mungkin akan berusia jauh lebih lama dari dunia ini. Ia adalah hal hebat yang membuatku terayun pada kehidupan yang lebih bijak, yang damai.”
“Apa Gadis Bening juga menyukai puisi?”
Perempuan berwajah cerah itu tersenyum, ada gurat-gurat geli di ujung bibirnya.
“Dia bahkan menghabiskan hari untuk menulis puisi.”
“Jika boleh kutebak, dulu banyak sekali pria yang datang melamar Gadis Bening. Tapi sayangnya, tidak ada satu pun dari pria-pria itu yang menyukai puisi, apalagi membuatnya. Jadi, kesimpulannya, jika saja waktu itu aku hidup sezaman dengan Gadis Bening, maka kemungkinan besar akulah pria yang akan mendapatkannya.”
“Kenapa begitu? Kamu suka puisi?”
“Ya. Aku bukan hanya menyukai puisi, tapi akulah puisi itu.”
“Hahaha. Kamu sudah masuk ke dunia dongeng, Kak.”
“Bukan aku, tapi kita.”
“Kita? Boleh juga.”
No comments:
Post a Comment