Aku tak mengerti, ketika kesetiaan nyaris sirna di luar sana, ketika satu lelaki tak cukup berpasang dua perempuan, ketika cinta seolah hanya dagangan murah, aku masih saja sama; mencintai satu wanita yang tersekap dalam kesemuan. Aku lebih memilih setia pada ketidakpastiaan.
Kurasa, angin mampu mengusap hati saat kuukir namanya. Jantungku selalu ketakutan saat namanya dibawa angin merapati pendengaranku. Aku hampir saja tak miliki waktu untuk tak rindui dirinya. Dalam setiap nafasku, kurasa cinta menjelma oksigen yang terpeluk aliran darah. Seperti sungai beraliran bening yang membawa kehidupan. Ia membawaku pada muara damai yang dijajah keindahan.
Senyumnya, telah kupetik dan kutitip pada mentari, agar disampaikan pada rembulan kala gulita merapat. Di awal pertengah bulan, selalu kulihat senyum itu mengindah bersama semesta. Oh, ingin rasanya waktu membeku saat itu terjadi. Hingga mencair kembali saat purnama benar-benar sempurna.
Thursday, March 23, 2017
Melebur
Waktu menerjangku dengan anggun
Melemparkan sayap matahari, mendekap dengan gulita
Memadukan damai dan ketakutan pada butir-butir hujan
Meniupkan sepoi dari penjuru mata angin
Aku telah berdiri di trilyunan titik
Menjumpai hingga jutaan warna hidup
Menggores kisah dari tiap lembaran hari
Namun, di titik manapun aku, dengan warna apapun kujalani hidup, di setiap kisah yang kugores, selalu terlukis satu nama
Meski semua berubah
Semesta berbeda
Tapi tatapku tetap sama
Tertuju pada satu titik, yang seolah tak kutemui indah bila kuberalih pandang
Kuingin seperti air bening yang mengalir, membawa cinta sebagai nafas
Menembusi masa
Dihantui kemarau
Terhuyung oleh angin
Bergumul dengan riak
Hingga pada titik yang kutuju
Cinta telah melebur dalam darahku
Melemparkan sayap matahari, mendekap dengan gulita
Memadukan damai dan ketakutan pada butir-butir hujan
Meniupkan sepoi dari penjuru mata angin
Aku telah berdiri di trilyunan titik
Menjumpai hingga jutaan warna hidup
Menggores kisah dari tiap lembaran hari
Namun, di titik manapun aku, dengan warna apapun kujalani hidup, di setiap kisah yang kugores, selalu terlukis satu nama
Meski semua berubah
Semesta berbeda
Tapi tatapku tetap sama
Tertuju pada satu titik, yang seolah tak kutemui indah bila kuberalih pandang
Kuingin seperti air bening yang mengalir, membawa cinta sebagai nafas
Menembusi masa
Dihantui kemarau
Terhuyung oleh angin
Bergumul dengan riak
Hingga pada titik yang kutuju
Cinta telah melebur dalam darahku
Lihatlah Hujan
Ada masa saat hujan menghentikan hati kita
Untuk sedikit menengadah langit
Dan menghirup aroma cinta yang terhempas dari terjangan derasnya
Lama, lama sekali
Berdiam diri dengan dada yang terlalu pengecut
Menanti keajaiban tanpa berbuat apa-apa
Berilah maaf
Pergilah
Ikut saja aliran bekas hujan yang berarak
Biar kuantar dengan tatap kekalahan
Aku akan tetap sama
Tak akan merubah warna emas menjadi abu-abu
Masih seperti langit sore
Emas
Biarlah rindu-rindu hanyut
Tergenang masa hingga melapuk
Dan hanya tinggaal sisa-sisa kenangan
Yang indahnya adanya jika kupaksa-paksa
Hujan, lihatlah hujan
Sebanyak butirnya lah jumlah rasaku
Terlalu takut kemarau
Kering dalam kehilangan
Untuk sedikit menengadah langit
Dan menghirup aroma cinta yang terhempas dari terjangan derasnya
Lama, lama sekali
Berdiam diri dengan dada yang terlalu pengecut
Menanti keajaiban tanpa berbuat apa-apa
Berilah maaf
Pergilah
Ikut saja aliran bekas hujan yang berarak
Biar kuantar dengan tatap kekalahan
Aku akan tetap sama
Tak akan merubah warna emas menjadi abu-abu
Masih seperti langit sore
Emas
Biarlah rindu-rindu hanyut
Tergenang masa hingga melapuk
Dan hanya tinggaal sisa-sisa kenangan
Yang indahnya adanya jika kupaksa-paksa
Hujan, lihatlah hujan
Sebanyak butirnya lah jumlah rasaku
Terlalu takut kemarau
Kering dalam kehilangan
Kau
Hujan, yang tempiaskan sejuk dari sela butir-butirnya, angankan indah akan sesudut senyum di wajah malam. Terbiasa kutanya pada sunyi, mengapalah rindu merebut kalbu setiap rinai mendekap bumi? Sebanyak kubertanya, sebanyak itu pula hanyalah kosong yang mampu kurengkuh. Waktu telah melemparku pada ruang yang dapat kudengar nada-nada cinta, namun tak sebutirpun menyusupi rasaku. Semua telah tersekat, oleh satu nada yang diritmekan dawai-dawai emas.
Sepi merayu, kuatkan jerat-jeratnya tuk menyekap jiwaku. Penjarakan hidup pada penatian panjang yang melingkar, yang akan berujung bila kuberhenti, tak menanti lagi.
Sepanjang kujejaki bumi, hanyalah usap senyum anggun yang terbawa angin yang kucari. Semakin dekat, terbatas dinding baja sekalipun, masihlah taburan senyum itu menyisa di udara. Semesta tahu, bukanlah raga yang kumau, cukuplah nama dan rasa yang tertitip di jendela-jendela senja, hingga berkelebat di senyuman fajar yang kumiliki. Cukuplah itu sebagai pengharum rasa hebat yang telah habiskan terlalu banyak waktu tuk menyetiai satu mimpi, kau.
Sepi merayu, kuatkan jerat-jeratnya tuk menyekap jiwaku. Penjarakan hidup pada penatian panjang yang melingkar, yang akan berujung bila kuberhenti, tak menanti lagi.
Sepanjang kujejaki bumi, hanyalah usap senyum anggun yang terbawa angin yang kucari. Semakin dekat, terbatas dinding baja sekalipun, masihlah taburan senyum itu menyisa di udara. Semesta tahu, bukanlah raga yang kumau, cukuplah nama dan rasa yang tertitip di jendela-jendela senja, hingga berkelebat di senyuman fajar yang kumiliki. Cukuplah itu sebagai pengharum rasa hebat yang telah habiskan terlalu banyak waktu tuk menyetiai satu mimpi, kau.
Ingin Ada
Ingin kulangkahkan hati pada ruas hidup yang tak ada engkau di sana
Namun di setiap cabang jalan yang kutempuh ada dirimu jua
Kau ada di setiap hening dan ramaiku
Bahkan kau ada di semangkuk bubur yang kupesan pagi tadi
Enyah saja dirimu
Pergilah dari pendengaranku
Dari jangkau tatapku
Dari harap menjelang tidurku
Dari syarafku agar kosong pikirku darimu
Namun berdiam dirilah pada kakimu saat ini
Izinkan aku datang setelah terjagamu
Dan putuskanlah sesukamu
Hanya saja nanti aku ingin ada untukmu
Namun di setiap cabang jalan yang kutempuh ada dirimu jua
Kau ada di setiap hening dan ramaiku
Bahkan kau ada di semangkuk bubur yang kupesan pagi tadi
Enyah saja dirimu
Pergilah dari pendengaranku
Dari jangkau tatapku
Dari harap menjelang tidurku
Dari syarafku agar kosong pikirku darimu
Namun berdiam dirilah pada kakimu saat ini
Izinkan aku datang setelah terjagamu
Dan putuskanlah sesukamu
Hanya saja nanti aku ingin ada untukmu
Subscribe to:
Posts (Atom)