Thursday, October 6, 2016

Tuhan Kecil

Oleh: Mukhlis Ahsya

Kau tahu, kawan
Tak cukup jariku berhitung
Akalku pun tumpul
Terlalu banyak yang berbaris di sana
Tuhan-tuhan kecil

Konon, Negeriku yang lalu sempat dilabuhi Tuhan Kecil
Dia terlalu banyak menyusun sandiwara
Menciptakan tokoh-tokoh cerita sekehendaknya
Orang-orang dipaksa bersalah
Atau harus mau mengaku jahat agar halal dibunuhinya
Terlalu banyak malaikat pencabut nyawa yang bertugas
Namun tak ada yang mau pensiun dini

Konon, Tuhan Kecil yang masyur itu sudah tak menjadi Tuhan lagi
Ia ditelan bumi
Musnah
Menjelma seperti dongeng yang tak masuk akal
Bagaimana mungkin ada Tuhan sekeji itu?

Kini era perubahan
Tuhan-tuhan Kecil bertumbuh bagai panu
Meski tak sekejam Tuhan Kecil yang lalu
Tapi tetap sama saja penindas
Selalu mengharuskan orang lain untuk salah
Agar ia menjadi Maha Benar
Menjerumuskan manusia pada kejahatan
Agar ia dapat maujud pahlawan

Ada-ada saja Tuhan kecil ini
Tingkahnya Maha Raja
Berupa-rupa wujudnya
Ia bisa menjadi presiden dan jajarannya
Menjadi wakil rakyat
Menjadi dosen
Menjadi guru
Menjadi saudagar
Menjadi apapun

Kawan, mudah sekali mengendus keberadaan Tuhan Kecil
Cukup saja perhatikan
Jika kau temui manusia yang selalu merasa benar lakunya
Memaksa menjadikan orang lain sebagai tersalah
Selalu beralasan namun tak mau menerima alasan
Merasa istimewa karena jabatan
Suka menyusun skenario untuk hidup orang lain
Dialah Tuhan Kecil

Tuhan Kecil bukanlah Tuhan
Mereka hanya seonggok tubuh
Sama hinanya seperti kita
Tapi selalu merasa paling berkuasa

Tuhan Kecil
Percayalah
Tuhan yang sesungguhnya tidak diam
Dia mengawasi
Dia berhitung

Secangkir Kopi Kenangan

Oleh: Mukhlis Ahsya

Jika angin-angin bertanya padamu tentang kenangan, jawab saja,”Ia telah hilang, tenggelam dalam secangkir kopi.”
Memang tak banyak kebaikan dalam secangkir kopi, hanya sekedar pencair rasa penat, teman kesepian, dan tempat pembuangan kenangan.
Setiap kutemui titik-titik indah dalam hidup ini, aku akan simpan sejenak dalam lembar memori, dan kubiarkan ia menjadi kenangan. Lalu dalam hitungan waktu yang berbeda, kuambil gula dan kucampuri bubuk kopi hitam, lalu kutuangkan titik-titk indah yang telah menjadi kenangan itu bersama berguyur-guyur air panas, dan menjelmalah secangkir kopi kenangan.
Kau mungkin telah bercampur dalam secangkir kopi kenanganku, teraduk bersama kenangan-kenangan yang lain. Dan hanya akan kuambil ketika semesta mengangguk, dan purnama ada di antaranya.

"Tetap Berhitung"

Oleh: Mukhlis Ahsya

Bila terbentang waktu yang lebih panjang lagi, tentulah kutetap menunggu
Berdiam hati di rindangnya pohon rindu
Berhitung sejak pertama kali daun jatuh
Mengumpulkan embun-embun sejuk dari setiap lembar-lembarnya

Berselimutkan angin pagi, siang, dan petang
Bersinarkan rembulan yang berjajarkan bintang-bintang
Bersembunyi dalam gulita
Melangkah di pintu fajar
Menguap bersama terik
Termenung di bawah langit keemasan
Lalu ditelan malam, hilang

Biar saja waktu semakin memanjang
Aku kan tetap di sini
Dalam ketiadaan
Tetap berhitung
Hingga daun-daun rindu habis
Dan aku benar-benar tiada

Puisi Kehidupan

"Seni Kehidupan"
Oleh: Mukhlis Ahsya


Adakah yang lebih menarik daripada perjuangan?
Apakah ada yang indah melibihi cinta?
Adakah yang pesonanya melebihi pesona kebaikan?
Tak ada

Tapi sayang sekali, Bunda
Perjuangan, cinta, dan kebaikan telah terbeli oleh uang
Mereka berjuang karena uang
Mereka mencintai karena uang
Mereka baik karena uang
Kalau uang tak landai di telapak tangan, mereka setan

Nurani tak bersuara lagi
Hening
Kesepian di tandusnya kehidupan
Terasing dari peradaban
Menatap nanar panggung sandiwara uang

Dulu mereka meneriaki angin
Ingin dikabarkan pada dunia bahwa estafet perjuangan ada di jari mereka
Namun sekejap menjadi banci
Berkata pada angin,”Kalau perut tak terisi bagaimana bisa berjuang?”
Keringaat kami adalah emas
Kenapa harus peduli terus?
Kapan kami dipedulikan?

Kalau semua hal harus diuangkan, lalu di mana letak kemanusiaan kita?

Semua berebut
Bukan berebut untuk berjuang
Bukan berebut untuk berbuat karena cinta
Bukan berebut dalam laku yang baik
Tapi mereka berebut dengan menjadikan perjuangan, cinta, dan kebaikan sebagai topeng kepalsuan

Seni kehidupan kini bukan perkara menderita asal di jalan yang benar
Seni kehidupan kini menjelma dalam kemahiran berganti-ganti wajah agar tetap dipandang benar