Thursday, September 22, 2016

Cerpen Lucu Romantis "Inaya"

“Inaya, Gadis Rembulan”
Oleh: Mukhlis Ahsya

Sudah sebulan ini Pak Kasdun dan Bu Eem, yang tak lain adalah orang tua Harun, nyaris gantung diri. Sudah beberapa kali mereka bersekongkol untuk mengakhiri hidup bersama-sama. Hanya saja, mereka urung. Membayangkan masa depan di alam lain sana, yang diyakini khalayak sebagai alam pembalasan, nyali mereka mengeriput.
“Manusia yang paling dzalim, paling pengecut, paling miskin rasa syukur, adalah yang membunuh dirinya sendiri. Kecewa bukan main Tuhan dengan orang macam begini. Terlaknat, bahan bakar api neraka.” Kalimat Mbah Rebon, sesepuh kampung yang mengetuai Aliansi Orang Bijak Anti Bunuh Diri di kampung mereka terngiang-ngiang, serupa bunyi ambulance yang pernah mereka dengar di televisi. Maklumlah, jalan kampung pegunungan tempat mereka tinggal benar-benar mengenaskan, sulit dijelaskan dengan bahasa apapun, hingga mobil jenis apa saja, termasuk ambulance, kehilangan nyali untuk melewatinya. Televisilah satu-satunya jalan orang-orang kampung itu untuk mengenal ambulance; melihatnya, mendengarnya, menaikinya dalam mimpi. Jika punya rezeki lebih, mereka membeli posternya di pedagang keliling.
“Rupanya kita tidak berbakat bunuh diri, Pak,” keluh Bu Eem, sambil kepala disandarkan pada pundak suaminya.
“Benar, wajah Mbah Rebon berseliweran terus-terusan, ngeri aku.” Pak Kasdun menanggapi sambil bergidik, membuat isterinya tersenyum geli. Di atas sana, rembulan menatap mereka dari sela daun-daun randu, lalu tersenyum tipis.
Kasus percobaan gantung diri sepasang suami-isteri dari desa terpencil di leher gunung itu, adalah karena ulah Harun, anak semata wayang mereka. Pasalnya, anak yang tidak terlalu jelek, namun juga kurang meyakinkan untuk dibilang tampan itu telah membuat aib. Hal memalukan yang diperkirakan Pak Kasdun tidak akan sanggup ditanggung hingga tujuh turunan.
Setiap hari Harun keliling kampung, menanyai setiap orang yang ditemuinya tentang Inaya, gadis yang menurutnya membawa aura rembulan, teduh. Harun sempat menyangka bahwa keteduhan yang dimiliki Inaya tak lain dan tak bukan disebabkan karena Inaya adalah sejenis manusia pemakan rembulan, yang menyebabkan terjadinya bulan sabit. Tidak masuk akal memang. Tapi, Harun acuh tak acuh mendapat cibiran setiap kali ia menjelaskan tentang Inaya, gadis rembulan yang ia cari-cari itu.
Semua orang di kampung terpecil itu sudah pernah ditanyainya tentang Inaya, dari yang tua sampai yang muda, laki dan perempuan, besar maupun kecil, bahkan yang masih dalam kandungan pun ditanyainya pula.
“Apakah Bapak tahu gerangan keberadaan Inaya?”
“Apakah Bapak pernah melihat Inaya?”
“Apakah Inaya pernah menitip surat kepada Bapak?”
“Apakah Bapak adalah Inaya?”
Hanya gelengan kepala serta tatapan mengutuk yang Harun dapat, tapi lebih sering ia ditertawakan, diejek, diusir, bahkan dikatai gila. Namun Harun tetap tersenyum santun, menjauh dengan khidmat. Jika dilihatnya memungkinkan, ia akan kembali menanyakan Inaya lagi.
Pak Kasdun dan Bu Eem nyaris putus asa oleh kelakuan Harun. Jika yang dituduhkan orang-orang bahwa Harun sudah gila adalah benar, maka Harun adalah orang gila pertama di kampung itu. Itulah yang menyebabkan Pak Kasdun tertekan batin, dihantui aib sepanjang malam. Hingga tiba-tiba Aminem, keponakan dari adik laki-lakinya datang membawa semacam solusi.
“Pakde tanyai saja si Alif. Alif kawan akrabnya Harun itu.”
Tidak berpikir lama, Pak Kasdun pun segera mencari orang yang disebut-sebut Aminem sebagai kawan akrabnya Harun. Alif, laki-laki yang pernah disunat tapi nyaris kehilangan sisi maskulinnya itu pun akhirnya digelandang Pak Kasdun ke rumahnya. Mirip tertuduh pencurian ayam, Alif diinterogasi oleh Pak Kasdun di meja makan, disaksikan Bapak Kepala Kampung beserta jajarannya, tokoh agama, tokoh masyarakat, tim keamanan kampung, dan tidak ketinggalan ketua Aliansi Orang Bijak Anti Bunuh Diri, Mbah Rebon.
“Inaya itu cantik tiada tanding. Pesona yang dimilikinya adalah warisan dari rembulan, meneduhkan,” jawab Alif bersemangat saat dikepung wajah-wajah penuh ingin tahu.
“Benarkah? Siapa Inaya itu sebenarnya?”
“Aku tidak tahu.” Alif acuh.
“Di mana kau pernah bertemu dengannya?”
“Aku belum pernah bertemu dengannya.”
“Omong kosong!” bentak seorang anggota keamanan kampung. Bentakan itu mewakili rasa dongkol seluruh peserta sidang. Tapi Bapak Kepala Kampung, sebagai pemangku jabatan tertinggi di kampung itu, merasa tersinggung.
“Siapa yang menyuruhmu bicara wahai tukang keamanan kampung? Jangan mendahului atasan!” Bapak Kepala Kampung bersungut-sungut. Yang dimarahi pun merunduk takzim penuh sesal.
“Omong kosong!” bentak Bapak Kepala Kampung. “Jadi Inaya yang seperti rembulan tadi hanya bualanmu?” lanjutnya sambil menatap tajam. Hadirin pun ikut menatap tajam kearah Alif. Laki-laki cenderung feminim itu gelagapan.
“Jawab!” Pak Kasdun tidak sabar.
“Emm ... Bukan begitu. Inaya memang memiliki kecantikan yang teduh seperti rembulan, itu menurut Harun. Harun sudah bercerita banyak tentang Inaya sebelum akhirnya ia gila.”
“Apa katamu? Beraninya kau bilang anakku gila?” Pak Kasdun naik pitam, Alif semakin kalut.
“Tenang Pak Kasdun, biarlah anak ini selesaikan dulu ceritanya.” Wajah Bapak Kepala Kampung berubah teduh, bagai juru damai. Alif menarik nafas dalam-dalam. Tidak mau dia salah ucap lagi.
“Harun bertemu Inaya sewaktu di pasar, Harun takjub oleh kecantikannya. Mereka berkenalan lalu mengobrol sebentar. Sebelum berpisah Inaya memberinya batu berbentuk setengah hati. Setelah itu Harun nyaris tidak pernah tidur, otaknya penuh oleh Inaya.”
“Batu setengah hati?”
“Betul.”
Pak Kasdun bergegas ke kamar anaknya mencari batu yang dikatakan Alif. Harun sendiri telah meninggalkan rumah sejak pagi, seperti biasanya, ia keliling kampung mencari Inaya dan akan pulang menjelang petang. Tidak butuh waktu lama, lelaki berambut hitam-putih itu telah keluar lagi dengan membawa sebongkah batu hitam pekat. Persis yang dikatakan Alif, bentuknya setengah hati.
Dengan jalan musyawarah, akhirnya batu itu dipalu hingga hancur berkeping-keping. Dan peserta sidang pun bubar dengan wajah puas. Tinggallah Pak Kasdun dan Bu Eem yang gelisah menunggu kepulangan anaknya. Yang diyakini mereka, Harun sore ini akan pulang dalam keadaan sudah waras. Sayangnya, hingga larut malam Harun belum juga pulang, padahal biasanya ia selalu pulang sebelum petang.
Warga kampung di leher gunung itu geger mendengar kabar hilangnya Harun. Esoknya, beramai-ramai mereka menyusuri sungai, masuk lembah, hingga ada yang turun gunung demi membantu Pak Kasdun menemukan kembali anaknya. Sampai sepuluh hari proses pencarian dilakukan, tak ada jejak. Harun dilupakan dengan sendirinya, sampai datangnya Alif membawa lembar-lembar aneh.
“Ada lima lembar jumlahnya, lihatlah!” seru Alif di hadapan hadirin sidang yang dipimpin Bapak Kepala Kampung. Mereka berebut ingin melihatnya. Harun menulis satu kalimat dalam setiap lembarnya, tulisan-tulisan itu di tempelnya pada batang pohon di sepanjang jalan dari rumahnya menuju pasar.
Alif meraih lembar-lembar yang bercecer di meja dengan sigap, seketika semua mata terarah padanya. Dengan menganggap dirinya seolah pahlawan atas misteri menghilangnya Harun, Alif mulai membacakan satu per satu secara urut kalimat-kalimat itu, dari rumah sampai pasar.
“Aku pengembara cinta, hendak berjalan kaki menuju langit tuk menjawab rinduku pada gadis rembulan.” Alif berhenti berkomat-kamit, matanya menyelidik para hadirin yang terpana oleh kalimat yang dibacakannya. Sebenarnya Alif mengumpat dalam hati, bagaimana bisa si Harun yang tidak lulus SD dapat menulis kalimat semanis itu.
“Setelah kubertanya-tanya sepanjang hari, pada orang-orang, pada rumput-rumput, pada tupai, pada belalang sembah beserta kawan-kawan sesama binatangnya, namun tak satu pun jua yang tahu gerangan Inaya, gadis rembulanku.” Lelaki feminim itu tuntas membaca lembar kedua. Ia segera mengambil lembar ketiga.
“Hingga kumengira-ngira, mungkinkah Inaya tinggal di langit sana, di hamparan rembulan?” Alif memejam mata, seolah terhanyut dalam kata-kata kawannya sendiri.
“Sampai tekadku membuncah-buncah kala kudapati sebongkah batu setengah hati, yang dipindahkan langsung dari tangan Inaya ke tanganku, hancur berkeping-keping.” Wajah Alif merah padam seakan merasakan kemarahan kawannya. Tanpa ia sadar, bahwa biang keladi atas hancurnya batu itu adalah dirinya sendiri.
“Terakhir ... “ ucap Alif sewibawa mungkin. Semua yang hadir berdesakan mendekat, takut-takut kalau ada kata yang lolos dari tangkapan telinga.
“Kuputuskan mendaki langit, berbekal endapan rindu dan tetesan rasa ingin jumpa, menemui ia yang indah, pewaris pesona rembulan.”
Alif membungkukkan badan. Orang-orang yang hadir nyaris bertepuk tangan jika tak ingat bahwa itu adalah suasana berduka.
Gelombang bulan menghapus nuansa tragis dari kemalangan seorang lelaki pendiam, Harun. Masyarakat kampung di leher gunung sudah kembali sibuk dengan takdirnya yang sangat anggun, bertani. Hanya saja, Alif belakangan bertingkah aneh. Saban hari keliling kampung sambil bertanya pada setiap orang yang ditemuinya.
“Apakah Anda tahu di mana Inaya, gadis rembulan itu?”

No comments:

Post a Comment