Pandangan kita terhadap suatu hal sangat ditentukan dari sudut mana kita memandang. Menurut saya, kera lebih hebat dari Albert Einstein, ‘jika dipandang dari kemampuan memanjat mohon’. Einstein memang ilmuan dunia yang kemampuannya dalam ilmu pengetahuan sangat melegenda. Hanya saja, dari perkara memanjat pohon dia pasti akan kalah hebat jika dibandingkan dengan kera. Berbeda lagi jika sudut pandangnya dirubah, yaitu dari segi berpikir misalnya. Jika dibandingkan dengan kera, dari segi berpikir Einstein akan terlihat seperti langit di atas pegunungan, kemampuannya melampaui jauh di atas kera.
Dari hal di atas, sebenarnya saya ingin menunjukkan suatu kesalahan besar dari para pelajar dalam memandang dirinya dan kesalahan guru dalam memandang muridnya.
Banyak pelajar merasa bahwa dirinya bodoh hanya karena mendapat nilai kecil pada beberapa mata pelajaran di sekolah, misalnya Matematika, Bahasa Inggris, dan lain sebagainya. Keyakinan mereka bahwa mereka benar-benar bodoh diperkuat dengan peringkat kelas yang selalu berada di urutan terakhir. Keadaan tersebut akan membuat kepercayaan diri mereka menjadi redup dan akan semakin menjauh dari ilmu. Dalam hal ini siswa terjebak dalam satu sudut pandang saja, yaitu orang yang berhasil mendapat nilai baik berarti dia pintar dan yang mendapat nilai buruk berarti bodoh. Padahal, jika siswa mau memandang dari sudut yang lain, mereka akan tahu bahwa sebenarnya mereka tidak bodoh, melainkan istimewa seperti istimewanya seseorang yang selalu mendapat nilai tinggi. Kok bisa? Begini ceritanya ....
Misalnya dalam suatu kelas ada siswa A yang pandai dalam semua mata pelajaran, dan ada siswa B yang sama sekali sulit mencerna semua mata pelajaran, namun si B sangat ramah. Jika dlihat dari sudut kemampuan menguasai pelajaran, siswa A lebih hebat dari siswa B. Namun, jika dilihat dari keramahannya, siswa B lebih hebat dari siswa A. Kesimpulannya, mereka sama-sama hebat, mereka semua istimewa. Si A tidak lebih baik dari si B, si B tidak lebih buruk dari si A, mereka sama-sama baik dan sama-sama berkualitas. Dalam hal ini siswa tidak boleh buru-buru mengklaim bahwa dirinya bodoh, karena sesungguhnya ia hebat. Mungkin seseorang memang sulit mendapatkan nilai yang baik di kelas, namun perlu disadari bahwa hebat atau tidaknya seseorang, bodoh atau tidaknya seseorang, tidak seutuhnya ditentukan oleh itu. Orang yang tidak ramah juga dapat dikatakan bodoh; bodoh dalam bersosial, bodoh dalam bertatakrama. Jadi apa masalahnya? Masalahnya adalah cara pandang kita terkadang terlalu sempit dalam mendefinisikan ‘bodoh’ itu sendiri.
Guru juga sangat sering memandang murid dari sudut padang yang sempit, sehingga bagi mereka hanya ada dua kategori siswa, yaitu siswa pintar dan siswa bodoh. Ironisnya, guru hanya memandang dari sisi ‘kemampuan siswa dalam menguasai pelajaran’ saja. Tentu ini sangat tidak adil bagi siswa. Seperti ilustrasi di atas tadi, jika kita melihat hanya dari segi kemampuan memanjat pohon saja, maka kera akan jauh lebih hebat dari Einstein; sehingga Einstein akan terlihat bodoh di sini. Tentu hal ini adalah sebuah ketidakadilah bagi Einstein, seperti ketidakadilan guru terhadap murid-muridnya. Guru harus memperluas cara pandang. Sehingga siswa dengan keunikannya masing-masing akan terlihat pintar semua, terlihat hebat semua.
Tentu saja dalam segala hal selalu ada kendala, termasuk dalam hal merubah cara pandang yang sudah mengakar ini. Namun, kita permudah saja semuanya dengan tindakan nyata, ‘terus belajar’.
No comments:
Post a Comment